Senin, 02 November 2009

ulumul hadis- hadis dari kuantitas rawi

PEMBAGIAN HADIS DARI KUANTITAS RAWI

















Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi
Tugas ulumul hadis


Dosen Pengampu : Dr. Erwati Aziz, M.Ag

Disusun Oleh :

1. Iwan Santoso (30.08.3.1.07 )
2. Joko Pitoyo (30.08.3.1.0 )
3. Khoirul Yudi Setiawan (30.08.3.1.082)







JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKSN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SURAKARTA
2009

BAB I
PENDAHULUAN
Pada Awalnya rasulullah SAW melarang sahabat untuk menulis hadis, karena dikhawatirkan bercampur baur penulisannya dengan Al-Qur'an. Perintah untuk menuliskan hadis yang pertama kali oleh khalifah umar bin abdul azis. Beliau penulis surat kepada gubernur di madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr hazm al-ansory dan Ibnu Shahab Al-zahri untuk membukukan hadis. Sedangkan ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Arroby bin Sobiy dan Said bin Abi Arobah, akan tetapi pengumpulan hadis tersebut masih acak (tercampur antara yang sohih dengan dhoif, dan perkataan para sahabat).
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan beragam. Tetapi kebingungan itu kemudian menjadi hilang setelah melihat pembagian hadis yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja.
Hadis memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki pembahasan yang unik dan tersendiri. dalam makalah ini akan dikemukakan pembaian hadis dari tinjauan kuantitas perawi. Sedangkan tinjauan mengenai kualitas akan dibahas oleh makalah yang dibawakan oleh kelompok lain.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para perawi para penulis hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda. Sedangkan mereka melihat pembagian hadis dari segi bagaimana proses penyampaian hadis dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau jumlah perawinya.








BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis Mutawatir
1. Pengertian Hadis Mutawatir
Arti mtawatir dalam bahasa berarti al-muttatabi berarti, yang datang kemudian, beriring-iringan, atau beruntung. Secara istilah ada beberapa redaksi pengertian mutawatir, yaitu sebagai:
a. hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang mistahil menurut tradisi mereka sepakat untuk berdusta dari sesama jumlah banyak dari awal sanad sampai akhir.
b. Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak dari sejumlah orang banyak pula yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat bohong.
c. Hadis yang didasarkan pada panca indra (dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat bohong.
Dari definisi diatas dapat dijelaskan bahwa hadis yang bersifat indrawi (didengar atau dilihar) yang diriwayatkan oleh banyak orang yang mencapai maksimal di seluruh sanad dan akal menghukumi mustahil menurut tradisi (adat) jumlah yang maksimal itu berpijak untuk kebohongan.
2. berdasarkan definisi diatas ada 4 kriteria hadis mutawatir:
a. Diriwayatkan sejumlah orang banyak
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada para perawi hadis tersebut dan tidak ada pembatasan yang tetap. Jumlah rawy-rawynya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong(Fatctur rahman 1970: 60). Para ulama berbeda-beda pendapatnya tentang batasan yang diperlukan untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.(Fatctur rahman 1970: 60-61)
1) Abu’t-Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, karena diqiyaskan dengan banyak saksi yang diperlukan hakim untuk memberikan vonis kepada terdakwa.
2) Ash-habu’sy-Syafi’iy menentukan minimal 5orang, karena menqiyaskanya dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar ulu’l ‘azmi.
3) Dsebagai Ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang berdasarkan ketentuan yang di firmankan Allah dalam surat Al-anfal 65, tentang sugesti Tuhan kepada orang-orang Mu’min yang pada tahan uji, yang hanya dengan berjumlah 20 oarng saja mampu mengalahkan orang kafirsejumlah 200 orang.:
      
jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. (Al-anfaal:65)

4) Ulama yamg lain menetapkan jumlah tersbut sekurang-kurangnya 40 orang, karena mereka mengqiyaskan dengan dengan firman Allah:
 •    •  
Hai nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.

b. Adanya jumlah banyak pada seluruh tigkat sanad
Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak dinamakan hadis mutawatir, tetapi dinamakan ahad atau wahid. Persamaan jumlah para perawi tidak berarti harus sama angka nominalnya, mungkin saja jumlah angka nominalnya berbeda namun milai verbalnya sama, yakni sama banyak. Misalnya pada awal tigkat sanad 10 orang, tingkat sanad berikutnya menjadi 20 orang, 40 oarng, 100 orang dan seterusnya. Jumlah yang seperti ini tetap dinamakan sama banyak dan tergolong mutawatir.
c. Mustahil bersepakat bohong.
Misalnya para perawi dalam sanad itu datang dari beberapa negara yang berbeda, dan pendapat yang berbeda pula. Sejumlah para perawi yang banyak ini secara logika mustahil terjadi adanya kesepakatan berbohong secara urut (tradsi). Pada masa awal pertumbuhan hadis, memang tidak bisa di analogikan dengan masa modern masa sekarng ini. Disamping kejujuran, dan daya memori mereka yang masih handal, transportasi antar daerah tidak mudah sekatang, perlu waktu berbulan-bulan dalam kunjungan kesuatu negara. Berdasarkan ini, jika periwayatan hadis berjumlah besar sangat sulit nereka sepakat berbohong dalam suatu suatu periwayatan. Di antara alas an pengingkaran sunnah dalam penolakan mutawatir adalah penyampaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan adanya kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan dengan realita dunia modrn dan kejujuranya yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, apalagi jika ditunggangi oleh masalah politik dan lain-lain. Demikian halnya belum diakatakan mutawatir karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk sepakat berbohong.
d. Sandaran berita itu pada panca indra
Maksud sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat dngan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal.(Abdul Majid Khan, 2009: 152)
Jumlah hadis mutawatir tidak banyak atau sedikit dan langka sebagaimana yang diduga oleh ibnu Ash-Shalah atau yang lainya. Syaikh Al-Islam Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan, bahwa dugaan tersebut karena kurang meneliti banyaknya sanad dan kondisi serta sifat-sifat para perawi yang menurut tradisi mustahil terjadi kesepakataan bohong. Hadis mutawatir memang sedikit jumlahnya di bandingkan dengan hadis ahad tetapi cukup banyak sebagaimana yang dijelaskan pada buku buku hadis mutawatir yang tenar. Diantaranya hadis tentang telaga (al-hawdh) diriwayakan oleh 50 orang sahabat, hadis menyapu sepatu (khawf) diriwayatkan 70 orang sahabat, hadis tentang mengagkat kedua tangan dalam shalat oleh 50 oarng sahabat, dan lain-lain.

A. Hadis Ahad
1. Pengertian Hadis Ahad
Menurut istilah hadis Ahad adalah: hadis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadis mutawatir. Perawi hadis Ahad tidak mencapai jumlah banyak yang meyakinkan bahwa mereka tidak mungkin bersepakat bohong sebagaimana dalam hadis mutawatir, ia hanya diriwayatkan satu, dua, tiga empat dan atau lima yang tidak mencapia mutawatir. Hadis ahad mempunyai faedah ilmu nazhari, artinya ilmu yang diperlukan peneliti dan pemeriksaan terlebuih dahulu, apakah jumlah perawi yang sedikit itu memiliki sifat-sifat kredebilitas yang dapat dipertanggung jawabkan atau tidak.

2. Macam-macam Hadis Ahad
Pembagian hadis Ahad ada tiga macam, yaitu hadis masyhur, aziz, dan ghorib.
a. Hadis masyhur
Dalam bahasa kata masyhur diartikan tenar, terkenal dan menampakan. Dalam istilah hadis masyuh terbagi menjadi 2 macam:
1) Masyhur ishthilahi
Hsadis yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih pada setiap tingkatan (thobaqoh) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir. Sebagian Ulama berpendapat hadis masyhur sinonim dengan hadis mustafidh (dalam bahasa diartikan penuh dan tersebar) dan sebagian ulama lain berpendapat bahwa mustafidh lebih khusus. Karena dalam mustafidh disyaratkan dua ujung sanadnya harus sama jumlahnya yakni 3 orang atau lebih.(fc )
2) Masyhur Ghayru Ishthilahi
Hadis Ghayru Ishthilahi adalah hadis yang terpopuler atau terkenal di kalangan golongan atau kelompok orang tertentu, sekalipun jumlah periwayatan dalam sanad tidak mencapai 3 orang atau lebih. Popularitas hadis masyhur disini tidak dilihat dari jumlah para perawi sebagai mana masyhur Ishthilahi diatas, tetapi tekananya lebih dari polularitas hadis itu sendiri ini di kalangan kelompok orang atau ulama dalam bidang ilmu tertentu.
Hukum hadis baik msyhur maupun ghayru Istilaahii tidak seluruhnya dinyatakan shohih atau tidak shohih, akan tetapi tergantungkepada hasil pemeriksaan para Ulama. Sebagian hadis masyhur ada yang shohih, sebagian hasan , dan dho’if, bahkan ada yang maudhu’. Namun memang diakui bahwa keshohihan hadis masyhur ishthilahi lebih kuat dari pada keshohihan hais aziz dan ghorib yang diriwayatkan satu atau dua orang perowi saja.

b. Hadis Aziz
Dari segi bahasa ‘aziz berasal dari kata, ‘azza, ya’izzu yang berarti sedikit langka atau kuat. Disebut(sedikit, langka atau kuat) karna sedikit atau langka adanya atau terkadang menjadi kuat ketika didatangkan sanad laen.( fc)
Sedangkan menurut istilah hadis Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqoh saja kemudian setelah itu, orang-orang pada meriwayatkanya. Menurut ta’rif tersebut, yang dikatakan hadits Aziz itu, bukan saja yang diriwayatkan oleh dua orang rawy pada setiap thabaqah, yakni sejak dari thabaqah pertama sampai dengan thabaqah yang terakhir harus terdiiri dari dua-dua orang, sebagaimana yang di ta’rifkan oleh sebagian muhaditsin, tetapi selagi pada salah satu thabaqah (lapisanya) saja, di dapati dua orang rawy. Suadh bisa dikatakan hadis ‘Aziz.(Fatchur Rahman 1987:74). Hukum hadis Aziz adakalanya sahih, hasan dan dha’if tergantung persyaratan yang terpenuhi, apakah memenuhi seluruh kriteria persyaratan shahih atau tidak. Jika memenuhi segala persyaratanya berarti berkhualitas sahih dan jika tidak memenuhi sebagian atau sekuruh persyaratan maka tergolong hadis hasan atau dha’if.

c. Hadis Gharib
Dari segi bahasa ghorib juga bersifat musyabbahah(serupa dengan isim fa’il atau isim maf’ul) yang berarti sendirian, terisolir jauh darikerabat, perantau, asing, dan sulit dipahami.
Yang dimaksud hadis gharib ialah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan. Dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi. .(Fatchur Rahman 1987:74). Sedang nama lain yang satu arti dengan hadis ghorib dalam istilah adalah hadis fard. Kata fard dalam bahasa diartikan tunggal dan satu. Hadis ghorib dan fard mempunyai makna yang sama yaitu hadis yang terdapat hanya seorang perowi dalam satu tingkatan sanad atau pada sebagian timgkatan sanad walaupun dalam salah satu tingkatan saja sedangkan pada timgkatan yang laen lebih dari satu orang.( ) Hadis gharib dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
1) Gharib mutlaq/fard mutlaq
Adalah apabila keghoriban itu terletak pada asal sanad (asal sanad adalah tabi’in) maka disebut gharib mutlaq/fardmutlaq, walaupun setelah tabi’I itu banyak yang meriwayatkanya.(Moh. Anwar,1981:26)
2) Gharib nisbi/fard nisbi
Gharib nisbi/fard nisbi adalah apabila keghariban itu terjadi ditengah sanad, yakni sesudah tabi’in maka disebut gharib nisby/fard nisby. Seperti beberapa sahabat meriwayatkan hadis tertentu dan diterima oleh beberapa tabi’in, namun setelah tabi’in itu, hanya seorang perawi saja yang meriwayatkanya.(Moh. Anwar,1981:26)
Gharib Nisbi terbagi menjadi 3 maam, yaitu sebagai berikut:
a) Muqoyyad bi ats-tsiqoh
b) Muqoyyad bi al-balad
c) Muqoyyad bi ar-rowi

3. Kriteria Hadis Ahad
Kriterria hadits menurut imam madzab:
a. Abu Hanifah mensyaratkan kita utuk menyaratkan untuk kita mengamalkan kahabar Wahid, syarat-syarat yang tersebut ini:
1) Perawinya tidak mnyalahi riwayatnya. Jika rawi menyalahi riwayatnya, maka yang kita turuti, pendapatnya bukan riwayatnya: karena perawi tidak menylahi riwayatnya, kalau bukan karena ada keterangan-keterangan yang telah menasahkan.
2) Riwayat itu tidak mengenai soal yang umum bahwa, karena soal-soal yang umum bahwa tentu diriwayatkan oleh orang ramai. Lantaran itu, ditolaklah hadis.
3) Riwayat itu tidak menyalahi qiyas.
b. Ulama-ualama Malikiyah tidak mengamalkan hadis Ahad yang menyalahi amalan-amalan (‘uruf) ulama-ulama madinah. Lantaran dipandang bahwa amalan-amalan ulama madinah itu, sama dengan riwayatnya.
c. Asy Syafi’I tidak mensyaratkan kemasykuran, tidak berlawananya dengan amalan penduduk madinah, dan tiada menyalahi qiyas. Beliau hanya mensaratkan sanya sanad dengan ittishal. Dan Asy Safi’i menolak segala hadis mursl, selain dari mursal Ibnul Musaiyah.
d. Ahmad tidak sekali-kali mau mendahulukan sesuatu pendapat, sesuatu yang qiyas, sesuatu fatwa shahabi dsb. Atas hadis marfu’

4. Kedudukan Hsadits dalam berhujjah
Kedudukan hadis Ahad dalam berhujjah menurut jumhur Ulama:
a. Menurut jumhur ulama hadis ahad wajib diamalkan jika memenuhi seperangkat persyaratan makbul. Imam Ahmad, Dahwud Azh-zahiri, Ibnu Hazm, dan sebagian Muhadditsin berpendapat hadis Ahad ilmu dan wajib diamalkan. Sedangkan Hanafiyah, Asy Syafi’iyah dan mayoritas Malikiyah berpendapat bahwa hadis ahad memberi faedah zhann (dugaan kuat, relatif kebenaranya) dan wajib diamalkan. Jadi semua Ulama meneriama hadis ahad dan mengamalkanya, tidak ada yang menolak diantara mereka, kecuali jika pada hadis tersebut terdapat kecacatan.
b. Sebagian muhaqiqin menetapkan, bahwa hadis Ahad itu wajib diamalkan dalam urusan amaliyah (furu’):ibadat, kaffarat dan hudud (hukum badan ) saja, tidak boleh dipakai dala urusan “aqa-id (kepercayaan). Gologan ini mengatakan bahwa: “hadis ahad tidak dapat dipakai untuk menetapkan sesuatu kepercayaan: karena kepercayaan-kepercayaan itu harus berdalil qath’I, sedang hadis ahad tiada qath’i, dia dhanni semata-mata.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Demikian hadis dilihat dari kuantitas jumlah para perawi yang dapat menunjukkan kualitas bagi hadis mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para perawi secara individu, atau menunjukan kualitas hadis ahad, jika disertai pemeriksaan memenuhi persyaratan standar hadis yang makbul. Hadis ahad masih memerlukan barbagai persyaratan yaitu dari segi sifat-sifat kepercayaan para perawi atau sifat-sifat yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran berita secara individu yaitu sifat keadilan dank e-dhabith-an, ketersambungan sanad dan ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadis mutawatir secara absolute dan pasti (qath'i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh hadis ahad bersifat relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan.
Dalam kehidupan sehari-hari seseorang dalam melaksanakan Islam tidak lepas dari zhann dan itu sah-sah saja, misalnya menghadap ke kiblat ketika shalat, pemeraan air mandi janabah pada seluruh anggota badan, masuknya waktu imsak dan fajar bagi orang yang berpuasa, dan lain-lain. Pengertian zhann tidak identik dengan syakk (ragu) dan juga tidak identik dengan waham . Zhann diartikan dugaan kuat (rajah) yang mendekati kepada keyakinan, syakk diartikan dugaan yang seimbang antara ya dan tidak sedang waham adalah dugaan lemah (marjuh) antomim zhann .
B. Saran
Kami selaku pemakalah mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua agar makalah ini dapat dibuat dengan lebih baik lagi.

Minggu, 01 November 2009

asas pendidikan islam











Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Ilmu Pendididkan Islam

Dosen pengampu : Abdul Ghofur,M.Ag




Disusun oleh:


1. Ita Uswatun K 26.08.3.1.077
2. Ludwyna Fitra Sofyani 26.08.3.1.089
3. MayaSupra Hapsari 26.08.3.1.093
4. Mifakul Janah 26.08.3.1.098




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

JURUSAN TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

2008/2009


Asas-asas Pendidikan Islam
A.Pengertian Asas-Asas Pendidikan Islam
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, asas adalah dasar, suatu landasan unutk melakukan sesuatu (Departemen Pendidikan Nasional 2003). Asas juga dapat disebut dengan fondasai (Fundation). Arif rachman (2009) berpendapat, fondasi pendidikan adalah sesuatu yang memberikan dasar atau landasan terhadap penyelenggraan sistem pendidikan yang dilakukan masyarakat. Tentu saja pondasi pendidikan memuat nilai-nilai positif yang diyakini kebenarannya oleh penyelenggara pendidikan agar upaya penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan dapat berjalan sesuyai harapan.
B.Asas-asas pendidikan Islam
1. Asas-asas ideal
Abdurrahman (1995) menyampaikan empat keistimewaan dari konsep islam tentang islam yakni :
a. Pemikiran yang menjadi dasar tatanan hidup muslim sangat jelas
b. Dogma islami itu logis, rasional dan sesuai dengan fitrah intelektual, intinktif dan psikis.
c. Dogma ini disajikan secara konklusif
d. Al-qur’an menggunakan metode interogatif emosional yang menyentuh akal, perasaan, air mata, kholbu dan imajinasi ketika berulang-ulang menyebutkan ayat-ayat Allah tentang cosmos dan diri kita sendiri.
Pandangan islam terhadap manusia, alam dan kehidupan.
a. Manusia
1. hakikat dan asal penciptaan manusia
Asal-usul kejadianmanusia menurut agama islam berbeda dengan pendapat asli filsafat antropologi terutama pendapat ahli kenamaan seperti Darwin dan lain-lain. (Zakiah Darajat : 1984)
Qs. An-Nisa ) : 1
“ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Allah menciptakan isterinya dan dari keduanya Allah mengembangkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kamu kepada Allah yang dengan namanya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah ) hubungan silaturahm. Sesunggunya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. “
Apabila kita meneliti ayat tersebut, jelas bagi kita bahwa mansuia yang beraneka ragam warna kulit dan bahasa masih satu keturunan yakni adam dan hawa.
Menurut Abdurrahman ( 1995 ) hakikat manusia berpangkal pada dua asal : asal yang jauh yaitu kejadian dari tanah ketika Allah menyempurnakan kejadiannya dan meniupkannya roh ciptaannya kepadanya. Dan asal yang dekat yaitu kejadian yang kedua dari nuthfah.
Q.S. As Sajdah : 7 – 9
“ yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-naiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kenudian dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh ( ciptaan )-Nya, dan dia menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan hati (tetapi ) kalian sdiki sekali bersyukur.”
Selain ayat tersebut, masih banyak ayat yang menjelaskan tentang kejadian manusia.
QS. Al-Hijr : 28-29 QS. Az Aumar : 6
QS. Al-Thariq : 6-7 AS> al-Mu’min : 12 - 14
QS. Yasin : 77

2. Manusisa Makhluk yang dimuliakan
Allah memberi manusia keistimewaan –keistimewaan dan ciri-ciri yang menyebbkan ia berhak mengatasi makhluk-makhluk lain. (Hasan langgulung : 1987). QS> Al-Isra’ : 70
“dan sesungguhnya telak Kmi muliakan ana-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan dilautan, Kami beri mereka rizki dan yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengna kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mekhluk yang telah Kami ciptakan,” juga terdapat dalam QS. : al-Hajj : 65 dan QS az Zukhruf : 13

3. Manusia makhluk yang dapat membedakan dan memilih
Manusia bebas memilih untuk beriman atau kafir (Syarah bayan Tarbiyah)
Qs. Al Balad 10
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan”.

(1591: dua jalan ialah kebajikan dan jalan kejahatan)
Terdapat pula pada QS. Ad Dahr : 3 ;QS. At Taghabun : 2 ; QS. Al Kahfi : 29.

4. Kemuliaan dan kelebihan Manusia
QS. An Nahl : 78
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.
Pendapat Abul A’la maududi dalam al Manhaful Islam al Jadid yang dikutip oleh Abdurahman (1998) bahwa pendengaran bertugas memelihara ilmu pengetahuan yang telah ditemukan oleh orang-orang lain. Penglihatan bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menambahkan hasil penelitian dari segala noda darinya.
Kemampuan lain adalah lisan dan kemampuan bicara QS> al-Balad : 8-9 ; dan QS. Ar Rahman : 1-4
5. Tanggung jajwab dan Balasannya
Tanggung jawab manusia adalah sebagai wakil Allah di bumi atau kholfah
QS. Al ahzab : 72-73.
Manusai harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuataannya hanya kepada Allah. Allah akan mengadili seluruh perbuatan manusia di hari kiamat nanti, untuk masuk surga atau neraka (khursid Ahmad: 1974)
6. Tugas paling luhur manusia adalah beribadah kepada Allah. QS. Ad-dzariyat : 56.
b. Alam
1. Seluruh alam adalah makhluk Allah
Menurut Hasan Langgulung (1987) yang dimaksud alam adalah segala sesuatu yang selain Allah yang terdiri dari makhluk-makhlu materi dan bukan materi.
QS. Ad Dhukhan : 38-39
QS. Al Ahqaf : 3
QS. Az zumar ; 67
2. Tunduknya alam kepada sunnah Allah dengan ketentuan-ketentuannya.
QS. Yasin : 37-40 QS al Hijr : 19-21
QS. Al Isra’ : 12 QS. Al An’am :96
3. Keteraturan dan kekuasaan Allah dalam menjalankan alam semesta.
Alam dengan segala elemen-elemen undurnya adalah berubah dan selalu bergerak menurut aturan dan tujuan yang telah digariskan oleh pencipta dan khaliqnya. (Hasan Langgulung)
QS. Al Hajj : 65 ;QS. Fathir : 41 ; QS. Ar ru : 25 ;
QS.Al-an’am :61
4. kehidupan manusia tunduk kepada sunnah kemasyarakatan
QS. A—Ra’ad : 10-11 QS. Ali Imron : 187
5. Seluruh alam tunduk kepada sunnah kemasyarakatan
6. Nikmat dan karunia Allah bagi masnuia
QS. Ibrahim : 32-34 QS an nbahl : 12-18
Dampak Edukatif :
Dalam bukunya Abdurrahman (1995) menyampaikan dampak dari mempelajari alam dipandangan islam.
a. hubungan seorang muslim dengan al Khaliq serta dengan tujuan hidup yang tertinggi yaitu beribadah kepada Allah.
b. Mendidik manusai agar bersungguh-sungguh
c. Mendidik unutk teliti dan dapat mempertimbangkan segala sesuatu dengan analogi
d. Mendidik dan memperhalus segala sesuatu denga analogi
e. Mendidik dan memperhalus hati mnusi.
C.Kehidupan
7. Permulaan kehidupan dan kedududkannya sebagai tempat cabaan dan ujian.
QS. :al-Hijr : 30-31
Qs. Al A’raf : 27
8. Gambaran al-Qur’an tentang kehidupan alam
a. Dunia hanya kesenangan sementara QS. Al baqarah : 86
b. Dunia penuh dengan ujian dan cobaan QS. Ali imron :14
c. Orang muslim boleh menikmati dunia sesuai batas QS. alQashash : 77
d. Dunia adalah alam yang berundang-undang QS. Al-A’raf : 32
e. Masa dunia sangat singkat QS. Tha ha : 102-104
f. Dunia tempat untuk bersungguh-sungguh QS. Al Hadid : 20
g. Dunia adalah tempat bermain-main dan sendau gurau QS. Al-hadid : 20.
Dampak Edukatif :
Menurut Abdurrahman (1995)
a). Membiasakan sundjek didik unutk melakukan hal-hal positif bagi kehidupan.
b). pendidikan kesabaran melalui pemberiam tuigas dan sekolah atau diluar sekolah.

2.Asas-asas Ta’abbudiyah
1.Makna Ibadah
Rahasia ibadah ini terletak pada azas bahwa keseluruhannya diikat dengan satu makna yang menyatukan segala dorongan manusia dan individu masyarakat Muslim. Rahasia itu adalah penghambaan kepada Allah SWT, semata, sertahanya menerima ajaran dan perintah Allah saja, baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat.
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (63)
“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
2.Dampak Edukatif
a. Ibadah mendidik diri untuk selalu berkesadaran berfikir
b. Ibadah menanamkan hubungan dengan jamaah muslim
c. Menanamkan kemuliaan dalam diri
d. Mendidik keutuhan selaku umat islam yang berderah diri kepada Al-Khaliq
e. Mendidik keutamaan
f. Membekali manusia dengan kekuatan rohaniah
g. Memperbaharui diri dengan taubat

D.Asas-asas Tasyri’i
Menurut al-Qur’an, ayara’ adalah :
a.pemberlakuan ajaran ialam
b. penjelas aqidah yang wajib diilhami
c. penjelas ibadah kepada Allahmenurut asasnya
d. Sandaran perintah dan laranagn yang ditetapkan, yang dikhususkan hanya kepada Allah semata.
Barangsiapa memperkenankan dirinya untuk membuat syari’at, atau menaati yang tidak disyari’atkan Allah, berarti dia telah menyekutukan Allah dengan tuhan yang lain. Sehubungan dengan ini, Allah Ta’ala melikiskan orang yang membuet-buat syari’at itu (musyarri) sebagai berikut :
اشْتَرَوْا بِآَيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِهِ إِنَّهُمْ سَاءَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (9)
“Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu”.
1. Dampak Syari’at terhadap pendidikan beerpikir
Syari’at islam merupakan salah satu asas pendidikan islam yang agung. Menurut makna Qurani-nya yang luas, syari’atadalah penjelas akidah, ibadah, pengatur kehidupan, serta pembatas dan pengatur seluruh hubungan insiniah
a. Syri’at adalah asas berpikir yang mencakup segala konsep berpikir tentang alam, kehidupan dan manusai.
b. Syari’at menetapkan kaidah dan tatanan tingkah laku kerapian, keteraturan, amanat, akhlak yang luhur, kesistematisan, kesadaran yang sehat, dan berpikir sebelum melakuakn segala segala yang dikehendakinya, yakni membuat keputusan sebelum melakukan.
c. Syari’at mendidik Kaum Muslimin supaya berpikir logis dengan jalan mengistimbath hukum-hukum.
d. Untuk memahami syai’at islam dibutuhkan kemampuan baca – tulis, membaca al-Qur’an dan memikirkan hukum serta maknanya.
Inilah sebagian ciri khas syari’at Islam dilihat dari aspek berpikir dan dampaknya yang terpenting terhadap pendidikan akal Muslim. Dampak tersebut terlihat dalam kemampuan untuk:

1). berpikiran luas, karena dia memandang din dan kehidupannya secara utuh dan berkaitan dengan konsepsinya yang menyeluruh tentang alam ini serta seluruh aspek duniawi dan ukhrawi, sebagaimana diajarkan al-Quran kepadanya;
2) berpikiran sadar tentang segala yang diperbuat, dikatakan, dikehendaki atau ditulisnya;
3) berpikir logis dan mampu rnendeduksi, sebagaimana diajarkan al-Quran kepadanya;
4) senang kepada belajar dan mencapai hakikat-hakikat ilmiah, yang menyebabkan terwujudnya suatu masyarakat
yang memiliki kebudayaan berpikir serta sistem-sistem pengajaran dan pendidikan yang tidak dimiliki oleh masyarakat lainnya.
2. Dampak Syari’at Terhadap Pendidikan Akhlaq
Syari’at Islam mengandung nilai-nilai edukatif. Nilai-nilai terebut tampak dengan jelas dalam metodanya yang menggunakan al-targhib wat- tarhib (menyenangkan dan menakutkan), mengambil pelajaran dan sejarah, atau mengajak supaya bertaqwa dan takut kepada Allah. Oleb karena itu, kadangkala al-Quran men-ta‘liikan (memberikan alasan) hukum-hukum dengan la’allakum tattaqun (agar kalian bertaqwa) dan kadangkala dengan pembersihan dan penyucian:
اشْتَرَوْا بِآَيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِهِ إِنَّهُمْ سَاءَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (9)
“Ambillah zakat dan sebugian harta mereka. Dengan zakat itu karnu rnernbersihkan dan menyucikan mereka . .
(Q.S. 9 at-Taubah : 103)
Di samping itu Syari’at islam mengandung nilai-nilai splikasi (terapan). Nilai-nilai tersebut tampak jelas pada perintah dan larangan, pengharaman, penghalalan, pembolehan, peringatan, hudud, “uqubah, qishash, petunjuk tentang cara-cara bertransaksi tertentu seperti bejuali beli, perkawiann dan seluruh perikatan yang diwujudkan dalam prihidup dan kehidupan.
a. Syari’at merupakan pedoman noral bagi individu
b. Syari’at merupakan pedoman sosial
c. Syari’at merupakan pedoman politik
Demikianlah kita melihat, bahwa syari’at islam mendidik manusia dengan tiga metode :
a. Pedagosis-pedagosis yang lahir dalam dirinya
b. Saling menasehati antar-individu masyarakat supaya menepati kebenaran dan menetapi kesabaran.
c. Menggunakan jalur kekuasaan eksekitif untuk mengamankan hukum bagi masyarakat muslim sehinga keamanan berjalan stabil, dan masyarakat menikmati keadilan syari’at.
3. Lima kebutuhan Primer
Jumhurul fuqaha berpendapat bahwa syari’at Islam mempunyai tugas utama untuk memenuhi lima kebutuhan primer yang menjadi induk hukum far’i (cabang).Mereka menamakannya dengan adh-Dharuriyyat al-Khams (lima kebutuhan mutlak),yaitu:memelihara Agama,jiwa,harta,kehormatan dan akal.



















Daftar Pustaka

Arif Rohman, 2009. Memahami Pendidikan Dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta :
Laknsbang Mediatama

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Hasan Langgulung. 1988. Asas-asas Pendidikan Islam . jakarta : Pustaka Al-Husna

Abdurrahman an-nahlai. 1992. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga di Sekolah dan di Masyarakat. Bandung : CV. Diponegoro

Khirsid Ahmad, dkk. 1974. Prinsip-prinsip Poko Islam. Jakarta : Rajawali Pers

Zakiah Daradjat, dkk.1984. Dasar-dasar Agama Islam. Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi. Jakarta : Bulan bintang.



dasar dan tujuan pendidikan islam

BAB I
PENDAHULUAN

Dasar pendidikan Islam sangat identik dengan dasar ajaran Islam itu sendiri. Kemudian dasar itu dikembangkan dalam pemahaman para ulama dalam bentuk qiyas syar’i, ijma’, yang diakui ijtihad dan tafsir yang benar dalam bentuk hasil pemikiran yang menyeluruh dan terpadu tentang jagat raya, manusia, masyarakat dan bangsa, pengetahuan kemanusiaan dan akhlak, dengan merujuk kepada kedua sumber asal yakni al-Quran dan hadis sebagai sumber utama (al-Syabany, 1979). Sedangkan apabila dilihat dari sudut pandang tujuan pendidikan Islam sendiri, tampak terlihat jelas bahwasannya tujuan pendidikan Islam sangat berbeda sekali dari tujuan pendidikan umum yang didasarkan pada falsafat pendidikan produk pemikiran spekulatif dari nalar manusia. Kohnstanam misalnya menggariskan bahwa tujuan pendidikan adalah tidak lain untuk membimbing anak mencapai tingkat kedewasaan rohani dan jasmani (Crijn dan Reksosiswojo, 1954). Sedangkan Langeveld, menyatakan bahwa tujuan pendidikan agar anak terbentuk kata hatinya (Crijn dan Reksosiswojo, 1954). Tetapi sebelum kita mempelajari lebih dalam mengenai dasar dan tujuan pendidikan Islam sendiri, kita perlu mempelajari dahulu mengenai pengertian dari pendidikan Islam.
Dari bab pendahuluan di atas, penulis makalah bisa menarik kesimpulan sementara bahwasannya dasar dan tujuan pendidikan Islam ini sangat berperan penting dalam menciptakan insan kamil atau hamba Allah yang senantiasa selalu bertakwa kepadaNya. Hal ini bisa kita ketahui dengan cara menetapkan al-Qur’an dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam yang bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dibolehkan dalam sejarah maupun pengalaman kemanusiaan. Sedang tujuan pendidikan Islam mempunyai peranan penting demi mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia baik secara menyeluruh maupun seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran, diri manusia yang rasional, perasaan dan indra. Untuk keterangan lebih lengkap dan jelasnya, akan dibahas pada pembahasan makalah berikut ini.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Dasar Pendidikan Islam
Pada dasarnya, pendidikan Islam mempunyai dua dasar yakni dasar ideal dan dasar operasional. Dasar idealnya adalah AL-Qur’an, As-Sunnah dan ijtihad. Ada beberapa dasar pendidikan islam yang merupakan dasar operasionalnya dalam mewujudkan dasar ideal/ sumber pendidika islam. Dasar pendidikan tersebut menurut pemaparan dari Hasan Langgulang ada enam macam yang menjadi dasar operasional pendidikan Islam, yakni : Dasar historis (berorientasi pada pengalaman pendidikan masa lalu), Dasar ekonomi (memberikan prespektif tentan potensi finanasial), Dasar politik dan administrasi (sebagai tempat tolak ukur untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan), Dasar psikologi (memberikan potensi peserta didik, pendidikan, dan manusia yang terlibat di dalamnya), Dasar filsafat (memberi arah suatu sistem). Dalam hal ini, kami juga mengutip dari pendapat Abdul Mujid yang menambahkan satu dasar lagi yaitu dasar religius, yang membingkai pendidikan dalam koridor religiusitas dan menjadikan pendidikan lebih bermakna. Jadi, menetapkan al-Qur’an, hadits dan ijtihad sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata, namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dibolehkan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.
Sedangkan tujuan pendidikan Islam sendiri memiliki peran yang aktif demi terbentuknya pribadi muslim yang mampu memikul tanggung jawab agama, bangsa dan negaranya. Dalam dunia pendidikan umum, perumusan tujuan dan obyek merupakan masalah yang sangat serius. Sejak manusia hal itu sudah menjadi bahan kajian yang tidak pernah selesai. Permasalahannya barangkali terletak pada kaitannya dengan perkembangan situasi dan kondisi.
Sebagai contoh, kita bisa melihat sendiri pada zaman kuno tujuan dan sasaran system pendidikan Spartan adalah kekuatan fisik, keberanian militer, ketahanan, disiplin, kepatuhan dan semangat nasionalisme. Sedang di Athena, pendidikan ditujukan untuk kepandaian membujuk, berargumentasi dan sukses dalam kehidupan. Masih banyak versi lain mengenai tujuan pendidikan pada zaman klasik, termasuk yang dikemukakan oleh para filosof seperti Plato, Aristotele, dan lain-lain.
Dalam literature pendidikan ini, pastilah terdapat banyak istilah yang merujuk pada tujuan pendidikan, antara lain dalam Bahasa Inggris yang lebih dikenal dengan istilah “aims”, “goals”, “objectives” dan “purpose”. Sementara dalam Bahasa Arab dikenal istilah “Ghayat”, “Ahdaf”, dan “Maqashid”. Masing-masing istilah itu, meskipun secara umum berarti tujuan, memiliki pengertian-pengertian khusus sehingga dalam penggunaannya memiliki proporsi sendiri-sendiri. Variasi istilah inilah yang pada dasarnya mencerminkan bahwa tujuan yang dirumuskan dalam bidang pendidikan harus bersifat dinamis. Penetapan tujuan secara umum harus diperinci secara tegas dengan penetapan tujuan-tujuan khusus, baik dalam tingkat institusional (Tujuan Institusional) maupun operasional (Tujuan Instruksional).
Untuk merumuskan tujuan pendidikan Islam secara konsisten (ajeg) dalam berbagai tingkatan hendaknya memperhatikan lima karakteristik, yaitu :
Pertama, keharmonisan antara kebutuhan individu dan komunitas. Satu sama lain tidak boleh saling mengabaikan. Pendidikan Islam ditujukan untuk membina kepribadian manusia seutuhnya sehingga ia dapat beradaptasi dalam kehidupan masyarakat yang sarat dengan berbagai ide.
Kedua, Keseimbangan antara realitas (kenyataan) dan idealitass (keinginan). Manusia hidup dengan sejumlah ide yang diharapkan dapat terwujud guna membentuk kesempurnaan dirinya. Tetapi, juga tidak bisa disangkal bahwa ia pun hidup bersama kenyataan yang berkembang baik yang menyangkut sosial, politik, ekonomi maupun budaya. Tujuan pendidikan Islam harus mampu menjembatani kesenjangan antara idealitas dan realitas. Dalam Islam “berpanjang angan-angan”(Thul al-‘Aml) itu dilarang. Tetapi, Islam juga mencela sikap pragmatis, hedonistik, mencari kesenangan sesaat. Dalam Islam dikembangkan sikap tawasuth (tidak ekstrim), sikap tasamuh (toleran) dan sikap tawazun (seimbang).
Ketiga, teratur dan tidak labil. Penetapan tujuan pendidikan Islam harus bersifat pasti sehingga tidak terpengaruh secara mendasar oleh perubahan waktu. Bentuknya boleh berubah sesuai dengan azaz efektifitas dan efisiensial. Tetapi, esensinya harus mencerminkan semangat keislaman yang sejati dan tidak bisa berubah. Ini untuk menegaskan prinsip universalitas Islam, sekaligus fleksibilitasnya.
Keempat, berorientasi pada kehidupan dunia dan akherat. Jamil saliba menyatakan bahwa banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang menunjukkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akherat.
Kelima, diwujudkan (dirumuskan) ke dalam bentuk tingkah laku yang dapat diteliti. Dalam Islam memang niat merupakan hal yang vital dan merupakan aspek yang tersembunyi. Namun, dalam kerangka pendidikan hendaknya diusahakan bentuk-bentuk perilaku yang menncerminkan kemuliaan niat. Meskipun demikian, usaha itu tidak boleh berlebihan sehingga menjurus pada sikap riya.
Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam secara umum adalah terciptanya kepasrahan yang total kepada Allah dengan segala manifestasinya yang selaras dengann ajaran Islam. Tujuan umum bisa melahirkan tujuan-tujuan khusus yang disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi. Islam memang ajaran yang mendatangkan kemaslahatan di manapun dan kapanpun.

B. Tujuan Pendidikan Islam
Dilihat dari Ilmu Pendidikan Teoritis, tujuan pendidikan ditempuh secara bertingkat, misalnya tujuan intermediair (sementara atau antara), yang dijadikan batas kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan pada tingkat tertentu, untuk mencapai tujuan akhir. Tujuan insedental merupakan peristiwa tertentu yang tidak direncanakan, akan tetapi dapat dijadikan sasaran dari proses pendidikan pada tingkat tertentu. Misalnya peristiwa meletusnya gunung berapi, dapat dijadikan sasaran pendidikan yang mengandung tujuan tertentu, yaitu anak didik timbul kemampuannya untuk memahami arti kekuasaan Allah SWT diyakini kebenarannya. Tahap kemampuan ini menjadi bagian dari tujuan antara untuk mencapai tujuan akhir pendidikan.
Berbagai tingkat tujuan pendidikan yang dirumuskan secara teoritis itu bertujuan untuk memudahkan proses kependidikan melalui tahapan yang makin meningkat ( progresif) ke arah tujuan umum atau tujuan akhir. Dalam sistem operasionalisasi kelembagaan pendidikan, berbagai tingkat tujuan pendidikan tersebut ditetapkan secara berjenjang dalam sturktur program instruksional, sehingga tergambarlah klasifikasi gradual yang semakin meningkat, bila dilihat dari pendekatan sistem Instruksional tertentu sebagai berikut:
1. Tujuan Instruksional Khusus, diarahkan pada setiap bidang studi yang harkus dikuasai dan diamalkan oleh anak didik.
2. Tujuan Instruksional Umum, diarahkan pada penguasaan atau pengamalan suatu bidang studi secara umum atau garis besarnya sebagai suatu kebulatan.
3. Tujuan Kulikuler, yang ditetapkan untuk dicapai melalui garis –garis besar program pengajaran di tiap institusi (lembaga) pendidikan.
4. Tujuan Institusional, adalah tujuan yang harus dicapai menurut program pendidikan di tiap sekolah atau lembaga pendidikan tertentu secara bulat atau terminal seperti tujuan institusional SD, SMP, atau SMA.
5. Tujuan Umum, atau Tujuan Nasional, adalah cita –cita hidup yang ditetapkan untuk dicapai melalui proses kependidikan dengan berbagai cara atau sistem, baik sistem formal (sekolah), sistem non formal (non klasikal dan non kurikuler), maupun sistem informal (yang tidak terikat oleh formalitas program, waktu, ruang, dan materi).
Demkian pula yang terjadi dalam proses kependidikan islam, bahnwa penetapan tujuan akhir itu mutlak diperlukan dalam rangka mengarahkan segala proses, sejak dari perencanaan program sampai dengan pelaksanaannya, agar tetap konsisten dan tidak mengalami deviasi –deviasi (penyimpangan). Adapun tujuan akhir pendidikan islam pada hakekatnya adalah realisasi dari cita –cita ajaran islam itu sendiri, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah SWT lahir dan batin, di dunia dan akhirat.
Rumusan –rumusan tujuan akhir pendidikan islam telah disusun oleh para ulama dan ahli pendidikan islam dari semua golongandan madzhab dalam islam, misalnya sebagai berikut:
1. Rumusan yang ditetapkan dalam konggres sedunia tentang pendidikan islam sebagai berikut (Second Word Conference on Muslim Education, International Seminar on Islamic Concepts and Curriculla, Recomendation, 15* to 20*, March 1980 Islamabad.): “Education should aim at the ballanced growth of total personality of man trough the training of man’s spirit, intelect the rational self, feeling and bodily sense. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects, spiritual, intelectual imaginative, physical scientific, linguistic, both individually and collectivelly, and motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submision to Allah on the level of individual, the community and humanity at large”.
Rumusan tersebut menunjukan bahwa pendidikan Islam mempunyai tujuan yang luas dan dalam, seluas dan sedalam kebutuhan hidup manusiasebagai makhluk individual dan sebagai makhluk sosial yang menghamba kepada Kholiqnya yang dijiwai oleh nilai –nilai ajaran agamanya.
Oleh karena itu pendidikan Islam bertujuan untuk menumbuhkan pola kepribadian manusia yang bulat melalui latihan kejiwaan, kecerdasan otak, penalaran, perasaan, dan indra. Pendidikan ini harus melayani pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, maupun bahasanya (secara perorangan maupun secara berkelompok). Dan pendidikan ini mendorong semua aspek tersebut ke arah keutamaan serta pencapaian kesempurnaan hidup.
Tujuan akhir dari pendidikan islam itu terletak dalam realisasi sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, baik secara perorangan, masyarakat, maupun sebagai umat manusia keseluruhannya.
Sebagai hamba Allah SWT yang berserah diri kepada Kholiqnya, ia adalah hamba-Nya yang berilmu pengetahuan dan beriman secara bulat, sesuai kehendak pencita-Nya untuk merealisasikan cita –cita yang terkandung dalam kalimat ajaran Allah:
اِنَّ الصَّلاَةِ وَنُسُكِى وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِى لِلّٰهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ
“Sesungguhnya solatku dan ibadahku dan hidupku serta matiku hanya untuk Allah, pendidikan sekalian alam”.
2. Rumusan yang lain adalah hasil keputusan seminar pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7 s.d 11 Mei 1960, di Cipayung, Bogor.
Pada saat itu berkumpulah para ulama ahli pendidikan islam dari berbagai lapisan masyarakat islam, berdiskusi dengan para ahli pendidikan umum, dan telah berhasil merumuskan tujuan pendidikan islam sebagai berikut:
“Tujuan Pendidikan Islam adalah menanamkan taqwa dan akhlak serta menegakan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur menurut ajaran islam”.
Tujuan terrsebut ditetapkan berdasarkan atas pengertian bahwa: “Pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran islam dengan hikmah mengarahkan, mengajar, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam”. Jadi jelaslah, membicarakan mesalah tujuan pendidikan, khususnya islam, tidak terlepas dari masalah nilai –nilai ajaran isla itu sendiri, oleh karena realisasi nilai –nilai itulah yang pada hakikatnya menjadi dasar dan tujuan pendidikan islam.

3. Ada rumusan lain tentang pendidikan islam oleh Prof. Dr. Omar Muhammad Al Toumy Al Syaebani sebagai bebrikut:
“Tujuan pendidikan adalah perubahan yang diingini yang diusahakan dalam proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada tingkah laku individu dari kehidupan pribadinya atau kehidupan masyarakat serta pada alam sekitar dimana individu itu hidup atau pada proses pendidikan itu sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu kegiatan asasi dan sebagai proporsi diantara profesi asasi dalam masyarakat”.
Mengungat tujuan pendidikan yang begitu luas, tujuan tersebut dibedakan dalam beberapa bidang menurut tugas dan fungsimanusia secara filosofis sebagai berikut:
1) Tujuan individual yang menyangkut individu, melalui proses belajar dalam rangka mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat.
2) Tujuan sosial yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dan dengan tingkah laku mesyarakat umumnya serta dengan perubahan –perubahan yang diinginkan pada pertumbuhan pribadi, pengalaman, dan kemajuan kehidupannya.
3) Tujuan profesional yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni, dan profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat.
Dalam proses kependidikan, tiga tujuan diatas dicapai secara integral, tidak terpisah dari satu sama lain, sehingga dapat mewujudkan tipe manusia peripurna seperti dikehendaki oleh ajaran agama islam. Oleh karena tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan cita –cita mewujudkan nilai –nilai, maka filsafat pendidikanlah yang memberi dasar dan corak serta arah tujuan pendidikan itu sendiri. Dalam rangkaian proses penyampaiannya, filsafat pendidikan berfungsi sebagai korektor terhadap kesalahan atau penyimpangan –penyimpangan yang terjadi, sehungga memungkunkan proses tersebut dapat berfungsi kembali dalam jalur tujuannya.
Dalam pelaksanaannya tujuan tersebut dapat dibedakan menjadi dua macam tujuan yaitu:
1) Tujuan Operasional
Tujuan operasional yaitu suatu tujuan yang dicapai menurut program yang telah ditentukan/ ditetapkan dalam kurikulum. Akan tetapi adakalanya tujuan fungsional belum tercapai oleh kerena beberapa sebab, misalnya produk kependidikan belum siap dipakai di lapangan karena masih memerlukan latihan ketrampilan tentang bidang keahlian yang hendak diterjuni, meskipun secara operasional tujuannya telah tercapai.
2) Tujuan Fungsional
Tujuan fungsional yaitu tujuan yang telah dicapai dalam arti kegunaannya, baik dari aspek teoritis maupun aspek praktis, meskipun kurikulum secara operasional belum tercapai. Misalnya produk kependidikan telah mencapai keahlian teoritisilmiah dan juga kemampuan/ ketrampilan yang sesuai dengan bidangnya, akan tetapi dari aspek administrasi belum selesai. Oleh karena itu, produk kependidikan yang paripurna adalah bilamana dapat menghasilkan anak didik yang memiliki kemampuan teoritis sekaligus memiliki kemampuan praktis atau teknis operasional. Anak didik berarti telah siap dipakai dalam bidang keahlian yang dituntut oleh dunia kerja dan lingkungannya.

C. Landasan pendidikan Islam dalam Pemikiran Pendidikan Islam
Landasan pendidikan Islam yang dipaparkan oleh Syahmina Zaini dalam kutipannya, mengacu kepada potensi yang ada pada diri manusia. Kami juga mengambil dari salah satu sumber buku yang berjudul Teologi Pendidikan Islam yang dipaparkan oleh Jalaludin bahwa potensi laten dalam konsep pendidikan Islam disebut Fitrah, yang berarti kuatan asli yang terpendam di dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir, yang akan menjadi pendorong serta penentu bagi kepribadiannya, serta yang dijadikan alat untuk pengabdian dan ma’rifatullah. Jadi bimbingan terhadap pengembangan fitrah, harus menuju arah yang jelas.
Berdasarkan potensi fitrah penciptaannya, maka perkembangan manusia meliputi seluruh aspek yang dibutuhkan oleh manusia meliputi seluruh aspek yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya baik dalam statusnya sebagai makhluk bertuhan, makhluk individu, makhluk social, makhluk bermoral, makhluk berperadaban dan sebagainya. Aspek perkembangan ini merupakan potensi yang mendukung pengembangan manusia menjadi sosok manusia seutuhnya, secara optimal dan berimbang, agar mampu menjalankan amanat dalam statusnya selaku hamba Allah maupun khalifah-Nya. Dengan demikian perkembangan manusia baru akan menjadi sempurna (insane kamil) bial pengembangan potensi dirinya yang mencakup keseluruhan aspek perkembangan itu dilakukan secara total dan maksimal.
D. Rumusan Pemikir Muslim tentang Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Imam Ghazali, tujuan pendidikan yaitu pembentukan insan Paripurna, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Imam Ghazali pula manusia dapat mencapai kesemurnaan apabila mau berusaha mencari ilmu dan selanjutnya mengamalkan fadilah melalui ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Fadilah ini selanjutnya dapat membawanya untuk dekat keapa Allah dan akhirnya membahagiakannya hidup di dunia dan di akhirat. Dalam hal ini, beliau berrkata :
“Apabila saudara memperhatikan ilmu pengetahuan, niscaya saudara akan melihat suatu kelezatan padanya, sehingga merasa perlu mempelajarinya dan niscaya saudara akan mendapatkan bahwa ilmu itu sebagai sarana menuju ke kampong akhirat beserta kebahagiaannya dan sebagai media untuk bertaqarrub kepada Allah Swt., yang tidak dapat diraihnya jika tidak dengan ilmu tersebut. Martabat yang paling tinggi yang menjadi hak bagi manusia adalah kebahagiaan yang abadi. Dan sesuatu yang paling utama ialah sesuatu yang mengantar kepada kebahagiaan itu. Kebahagiaan tidak dapat dicapai tanpa melalui ilmu dan cara mengamalkannya. Kami mengutip dari Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Islam Versi Al Ghazali, alih bahasa Fathurrahman May dan Syamsudin Asyrafi, yang menyatakan bahwa pangkal kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu pengetahuan karena mencari ilmu termasuk amal utama”. Dengan demikian tujuan pendidikan Islam adalah membina Insan Paripurna yang taqarrub kepada Allah, bahagia di dunia dan akhirat. Tidak dapat dilupakan pula orang yang mengikuti pendidikan akan memperoleh kelezatan ilmu yang dipelajarinya dan kelezatan ini pula dapat mengantarkannya kepada pembentukan Insan Paripurna.
Moh. Athiyah Al Abrasyi dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, yang merupakan terjemahan dari H. Bustami A. Gani & Djohar Bachry, LIS), mengemukakan tentang tujuan pendidikan dalam satu hal yaitu fadilah/keutamaan. Para ahli pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang mereka ketahui, te4tapi mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas dan jujur. Maka tujuan pokok dan utama dalam pendidikan Islam adalah mendidik budi pekeerti dan pendidikan jiwa. Dan beliau juga mengutip pendapat Al-Ghazali mengenai tujuan dari pada pendidikan ialah mendekatkan diri kepada Allah, bukan pangkat dan bermegah-megahan dan janganlah hendaknya seorang pelajar itu belajar untuk mencari pangkat, harta, menipu orang bodoh atau bermegah-megah dengan kawan.
Kemudian dalam materi filsafat pendidikan islam yang dikarang oleh Muhammad Zen, pada hal. 26-27, kami sempat mengutip singkat dari materi tersebut yang berisi pemaparan menurut Dr. Omar al Taumy, yang mengatakan lebih jelasnya bahwa tujuan pendidikan Islam adalah pembinaan pribadi muslim yang berpadu pada perkembangan dari segi spiritual, jasmani, emosi, intelektual dan sosial. Dan dikatakan lebih lanjut lagi, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah pembinaan warga negara muslim yang baik, yang percaya kepada Tuhan dan agamanya, sehat jasmani, berimbang dalam motivasi-motivasi, emosi dan keinginan-keinginannya, sesuai dengan dirinya dan orang lain, bersenjatakan ilmu dan pengetahuan, memiliki alat-alatnya yang asasi, luas pengetahuan, dan sadar akan masalah-masalah masyarakat bangsa dan zamannya, halus perasaan seninya dan sanggup merasakan keindahan dalam segala bentuk dan coraknya, sanggup menggunakan masa luangnya dengan bijaksana dan berfaedah, mengetahui hak dan kewajiban-kewajibannya, memikul tanggung jawab terhadap diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan kemanusiaan seluruhnya dengan kesadaran, dengan keikhlasan dan kebolehan, bersedia memikul tanggung jawab yang berkorban untuk meneguhkan dan memperkuatnya.
Abdul Fatah Jalal dalam bukunya yang berjudul Min Usulit Tarbiyah Fil Islam yang dialihbahasakan Herry Noer Ali pada halaman 119-122 mengelompokkan tujuan pendidikan Islam ke dalam tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum yaitu menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah Swat., yang senantiasa mengagungkan dan membesarkan asama Allah Swt., dengan meneladani Rasulullah Saw, menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, suka mempelajari segala yang bermanfaat baginya dalam merealisasikan tujuan yang telah digariskan oleh Allah Swt. Ringkasnya, tujuan umum pendidikan Islam adalah membina peserta didik agar menjadi hamba yang suka beribadah kepada Allah. Ibadah di sini tidak hanya terbatgas pada menunaikan shalat, puasa di bulan Ramadlan, mengeluarkan zakat dan beribadah haji setelah mengucapkan syahadat tauhid dan syahadat Rasul, tetapi mencakup segala amal, pikiran atau perasaan manusia, selama semua dihadapkan kepada Allah Swt. Ibadah adalah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan bahkan bagian apapun dari perilakunya dalam mengabdikan diri kepada Allah Swt.
Sedangkan tujuan khusus pendidikan Islam yang pertama-tama adalah mampu melaksanakan rukun Islam yang diperintahkan oleh Allah Swt., kepada muslimin. Mereka diharuskan mempelajarinya untuk meningkatkan ibadahnya. Ulama telah bersepakat bahwa mempelajari agama itu wajib hukumnya bagi setiap muslimin dan muslimat. Demikian juga berusaha mencari rejeki merupakan infak kepada keluarga dan termasuk ibadah.
Sebagaimana pendapat di atas, Udin Sarifuddin Winataputra dan Rustana Ardiwinata yang telah tertera dalam materi filsafat tersebut, menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam identik dengan tujuan hidup manusia. Disamping itu beliau menyetir pendapat M. Natsir yang mengatakan bahwa menyembah Allah itu melengkapi semua ketaatan dan ketundukan kepada semua perintah Illahi, yang membawa kepada kebesaran dunia dan kemenangan akhirat, serta menjauhkan diri dari segala larangan-larangan yang menghalang kemenangan tercapainya kemenangan dunia dan akhirat.





BAB III
KESIMPULAN

Menurut kelompok kami, bisa disimpulkan lebih detailnya bahwa pendidikan Islam bersumber dari pada enam hal, yakni AL-Qur’an, As-Sunnah, kemaslahatan umat, tradisi atau kemaslahatan umat, tradisi atau kebiasaan masyarakat, dan ijtihad yang merupakan dasar pokok idealnya sedang meurut dasar operasionalnya mencakup dalam segala macam aspek yang berdasar pada historis, ekonomi, politik, admiistrasi, psikologi, filsafat dan religius. Sedang tujuan pendidikan Islam sendiri dibagi tiga pokok aspek yang paling terpenting yakni: tujuan filosofis, tujuan normatif, dan tujuan fungsional yang saling berkaitan satu sama lain yang ada kaitannya dengan peranan pendidikan islam sendiri. Untuk itulah pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang senantiasa menghambakan diri kepada Allah yakni beribadah kepada Allah.

ruang lingkup pendidikan islam

RUANG LINGKUP PENDIDIKAN ISLAM






Makalah ini Disusun Guna Mengerjakan
Tugas Ilmu Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Abdul Ghofur, M.Ag

Disusun Oleh :
1. Ika Nur Utami
2. Ismi Catur Pamungkas
3. Kalistya
4. Mita Susanti


JURUSAN TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
2009
BAB I
PENDAHULUAN

Manusia sebagai makhluk Tuhan, telah dikarunia Allah kemampuan-kemampuan dasar yang bersifat rohaniah dan jasmaniah, agar dengannya manusia mampu mempertahankan hidup serta memajukan kesejahteraanya.
Kemampuannya dasar manusia tersebut dalam sepanjang sejarah pertumbuhannya merupakan modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya di segala bidang.
Sarana utama yang dibutuhkan untuk pengembangan kehidupan manusia tidak lain adalah pendidikan, boleh dikata pendidikan merupakan kunci dari segala bentuk kemajuan hidup umat manusia sepanjang sejarah. Pendidikan berkembang dari yang sederhana, yang berlangsung dalam zaman dimana manusia masih berada dalam ruang lingkup kehidupan yang serba sederhana. Tujuan-tujuannya pun amat terbatas pada hal-hal yang bersifat survival (pertahanan hidup terhadap ancaman alam sekitar). Yaitu keterampilan membuat alat-alat untuk mencari dan memproduksi bahan-bahan kebutuhan hidup, beserta pemeliharaannya.( M.Arifin:2)
Akan tetapi ketika manusia telah dapat membentuk masyarakat yang semakin berbudaya dengan tuntutan hidup yang makin tinggi, pendidikan ditujukan bukan hanya pada pembinaan keterampilan, melainkan kepada pengembangan kemampuan-kemampuan teoritis praktis berdasarkan konsep-konsep berfikir ilmiah.
Khusus masyarakat Islam yang berkembang sejak zaman Nabi Muhammad melaksanakan misi sucinya menyebarkan agamanya, pendidikan juga merupakan kunci kemajuan.
Adapun metode dasar untuk mendidik manusia agar mampu mengembangkan diri dalam kehidupan yang makin luas dan kompleks, terutama dalam memahami, menghayati dan mengamalkan missi agama Islam, berpangkal pada kemampuan “membaca dan menulis” dengan kalam: tidak saja sekedar membaca tulisan atau menuliskan hasil pengamatan, akan tetapi juga membaca, mamahami dan menjelaskan gejala alamiah yang diciptakan Tuhan dalam alam semesta ini.( Erwati:12)
Agar mampu membaca dengan tepat dan mendalam, Tuhan memberikan kepada manusia suatu kemampuan kecerdasan berfikir dan menganalisa gejala alam. Dengan mengetahui segala sesuatu yang terhampar di alam semesta dan yang berada dibalik alam semesta, barulah manusia dapat beriman melalui kesadarannya. Jadi dengan melalui proses membaca dan menulis dan mengetahui kemudian beriman, manusia baru dapat menduduki tingkat atau derajat yang tinggi, sebagaimana dinyatakan Allah dalam Surat Al-Mujadalah ayat 11.
                                
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu : “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan : berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Secara teoritis pendidikan Islam sebagai ilmu atau disiplin ilmu adalah merupakan konsepsi pendidikan yang mengandung berbagai teori yang dikembangkan dari wawasan yang bersumber dari kitab suci Al Quran atau al Hadits, baik dilihat dari segi system, proses dan produk (hasil) yang diharapkan maupun dari segi (tugas pokoknya) untuk membudayakan umat manusia agar bahagia dan sejahtera dalam hidupnya. Dalam proses kependidikan Islam terdapat problema-problema yang kompleks (tidak sederhana), oleh karena melibatkan berbagai input enutromental (kebudayaan, tradisi, mitos, kemajuan ilmu dan teknologi yang berkembang di lingkungan sekitar).(Heri.N:47)
BAB II
RUANG LINGKUP PENDIDIKAN

Tugas pendidikan dimulai dari keluarga yang berkewajiban mentransfer pengalaman kepada anak untuk selanjutnya dapat membuka jalan hidupnya sendiri. Namun, pengalaman itu kemudian berakumulasi dan kebudayaan yang hendak ditransfer sanagat banyak dan kompleks akibat berintegarinya keluarga-keluarga dalam bentuk masyarakat dengn segala wataknya yang khas. Oleh sebab itu, diperlukan lembaga-lembaga khusus yang dapat melaksanakan tugas-tugas pendidikan tersebut sesuai dengan konsep dan kerangka yang diletakkan oleh masyarakat itu sendiri. Kemudian muncul gagasan tentang pendidikan sekolah dengan berbagai bentuknya.
Pendidikan merupakan proses yang lebih besar dari sekedar aktivitas persekolahan. Pendidikan, dengan mengesampingkan perbedaan mazhab dan orientasi, merupakan proses pengembangan sosial yang mengubah individu dan sekedarnya makhluk biologis menjadi makhluk sosial agar hidup bersama realitas zaman dan masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses pemberian sifat sosial kemanusiaan (humanisasi) kepada makhluk hidup. Pendidikan menghubungkan manusia dengan suatu masyarakat yang memiliki karakteristik kultural. Pendidikan memberi manusia sifat-sifat kemanusiaan yang membedakannya dari makhluk-makhluk hidup lainnya, serta memberinya pola-pola hidup dalam suatu masa dengan harapan ia akan menerapkannya kemudia menambah dan mengurangi sendiri.
Dengan makna tersebut, pendidikan dipandang sebagai seni mentransfer warisan dan ilmu membangun masa depan. Pendidikan merupakan proses persiapan untuk hidup melalui kehidupan itu sendiri dimana aspek-aspek fisik, intelektual, dan spiritual, individu diperhatikan. Atas dasar itu, tugas pendidik adalah memperhatikan pendidikan hati, kepala dan tangan (heart, head, hand)
Ruang lingkup pendidikan terbagi menjadi 3 materi pokok yang terkandung dalam :

1. Tarbiyatul Aqliyah
2. Tarbiyah Jismiyah
3. Tarbiyatul Khuluqiyah

1. Tarbiyah Aqliyah (IQ Learning)
Tarbiyah Aqliyah atau sering dikenal dengan istilah pendidikan rasional (intellegence question learning) merupakan pendidikan yang mengedepankan kecerdasan akal. Tujuan yang diinginkan dalam pendidikan itu adalah bagaimana mendorong anak agar bisa berfikir secara logis terhadap apa yang dilihat dan indra oleh mereka, input, proses, dan output pendidikan anak diorientasikan pada rasio (intellegence oriented) yakni bagaimana anak dapat membuat analisis, penalaran, dan bahkan sintesis untuk memecahkan suatu masalah. Misalnya melatih indra untuk membedakan hal yang diamati, mengamati terhadap hakikat apa yang diamati, mendorong anak bercita-cita dalam menemukan suatu yang berguna dan melatih anak untuk memberikan bukti terhadap apa yang mereka simpulkan.
2. Tarbiyah Jismiyah (Physical Learning)
Tarbiyah Jismiyah yaitu segala kegiatan yang bersifat fisik untuk mengembangkan biologis anak tingkat daya tubuh sehingga mampu untuk melaksanakan tugas yang diberikan padanya baik secara individu ataupun sosial nantinya, dengan keyakinan bahwa dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat Al-Aqlussalim fi jismissalim sehingga banyak diberikan beberapa permainan oleh mereka dalam jenis pendidikan ini.
3. Tarbiyatul Khuluqiyah (SQ Learning)
Tarbiyatul Khuluqiyah disini diartikan sebagai konsistensi seseorang bagaimana memegang nilai kebaikan dalam situasi dan kondisi apapun dia berada seperti: kejujuran, keikhlasan, mengalah, senang bekerja, kebersihan, keberanian dalam membela yang benar, bersandar pada diri tidak pada orang lain, dan begitu juga bagaiman tata cara hidup berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu maka pendidikan akhlak tidak dapat dijalankan dengan hanya menghafalkan saja tentang hal baik dan buruk, tapi bagaimana menjalankannya sesuai dengan nilai-nilainya. Ada beberapa bagian dalam hal ini antara lain:
1. mengumpulkan mereka dalam satu kelompok yang berbeda karakter,
2. membantu mereka untuk menemukan jati dirinya dengan memberikan pelatihan, ujian, dan tempaan.
3. membentuk kepribadian dengan selalu menjauhi hal yang jelek dan berpegang teguh terhadap nilai kebaikan.
Permasalahan kehidupan yang oerlu menjadi perhatian ialah pendidikan. Ayat-ayat tentang pendidikan banyak terdapat di dalam Al Quran, meskipun masih bersifat umum sehingga tidak mudah diaplikasikan begitu saja ke dalam kehidupan umat. Oleh karena itu, ayat-ayat tentang pendidikan tersebut perlu dikaji secara seksama agar dapat ditangkap petunjuknya dan dapat diterapkan di tengah masyarakat untuk pembimbing mereka ke jalan yang benar.
Surat Al-Alaq adalah salah satu di dalam Al Quran turun pada periode awal. Ayat 1 – 5 merupakan ayat yagn pertama kali turun kepada Nabi Muhammad.
Para ahli pendidikan Islam senantiasa memasukkan ayat 1 – 5 dari surat Al-Alaq ini sebagai ayat pendidikan, seperti Ghazali, Muhammad Fadhil Jamali, Fathiyah Hasan Sulaiman, dan Hasan Langgulung.
Surat Al-Alaq adalah salah satu surat di dalam Al Quran yang terdiri atas 19 ayat dan merupakan surat ke-96 di dalam mushaf.
Surat Al-Alaq yang terdiri atas 19 ayat ini merupakan surat Makkiyah atau surat yang diturunkan Allah pada aperiode makkah. Ayat 1 – 5 adalah ayat-ayat yang pertama kali diturunkan Allah SWT di gua Hira’ ketika Nabi SAW, bertahan nus. Surat ini, antara lain berisi perintah membaca, tentang alat tulis, unsur-unsur pendidikan, sifat dan keadaan manusia yang jahat serta durhaka.
Prinsip-prinsip pendidikan yang akan dikaji di dalam surat Al-Alaq ini berkenan dengan pendidikan secara umum, seperti materi pendidikan, metode pendidikan, pendidik, anak didik (peserta didik), dan tujuan pendidikan.





A. Hakikat Pendidikan Islam
Hakikat pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam kearah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangan.
Pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makanan” (opseanding) kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniyah, juga sering diajukan dengan menumbuhkan kemampuan dasar manusia. Bila ingin diarahkan kepada pertumbuhan sesuai dengan ajaran Islam, maka harus berproses melalui sistem pendidikan Islam, baik melalui kelembagaan maupun melalui sistem kurikuler.
Esensi daripada potensi dinamis dalam setiap diri manusia itu terletak pada keimanan / keyakinannya. Ilmu pengetahuan akhlak (moralitas) dana pengalamannya. Dan keempat potensi esensial ini menjadi tujuan fungsional pendidikan Islam.
Oleh karenanya, maka dalam strategi pendidikan Islam, keempat potensi dinamis yang esensial tersebut menjadi titik pusat dari lingkaran proses pendidikan Islam sampai kepada tercapainya tujuan akhir pendidikan, yaitu manusia dewasa yang mukmin, muslim,dan muchlisinmuttaqin.
Pendidikan Islam itu buisa dibilang proses, maka dibutuhkan juga sebuah sistem dan sasaran atau tujuan yang hendak dicapai melalui proses proses sistem tertentu karena sasaran dan tujuan yang jelas akan menghilangkan nilai hakiki pendidikan.(M.Arifin:32)

B. Sasaran Pendidikan Islam
Sejalan dengan misi agama Islam yang bertujuan memberikan bagi sekalian makhluk di alam ini, maka pendidikan Islam mengidentifikasikan sasaran yang digali dari sumber ajaran Alquran, meliputi empat pengembangan fungsi manusia.
1. Menyadarkan manusia secara individual pada posisi dan fungsinya ditengah makhluk lain, serta tentang tanggung jawab dalam kehidupan, dengan kesadaran ini, manusia akan mampu berperan sebagai makhluk Allah yang paling utama diantara makhluk-makhluk lainnya sehingga mampu berfungsi sebagai kholifah dimuka bumi ini, karena manusia sedikit lebih tinggi kejadiannnya dari malaikat, yang hanya terdiri dari unsur-unsur rokhaniyah, yaitu nur ilahi. Manusia adalah makhluk yang terdiri dari perpaduan unsur-unsur rohani dan jasmani.
2. Menyadari fungsi dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggungjawabnya terhadap ketertiban masyarakat itu. Oleh karenaitu manusia harus mengadakan interrelasi dan interaksi dengan sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia adalah homo sosius (makhluk sosial). Itulah sebabnya mengapa Islam mengajarkan tentang persamaan, persaudaraan, kegotongroyongan, dan musyawarah yang dapat membentuk masyarakat itu menjadi persekutuan hidup yang utuh.
3. Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, mannusia sebagai Homodivinans (makhluk yang berketuhanan) sikap dan watak religiusnya perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu menjiwai dan mewarnai kehidupannya. Pada hakikatnya, dalam diri tiap manusia telah diberi kemampuan untuk beragaam dan kemampuan itu berada di dalam fitrahnya secara alami. Oleh karena itu seorang saujana barat, C. G. Jung, memandang kemampuan beragama ini sebagai Naturaliter Religiosa (naluri beragama)
4. Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap mekhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaat.
Dengan kesadaran demikian, maka manusia sebagai khalifah di atas bumi dan yang terabaik diantara makhluk lain, akan mendorong untuk melakukan penglolaan, mengeksploitasikan serta mendayagunakan ciptaan Allah untuk kesejahteraan hidup bersama-sama dengan lainya. Pada akhirnya, kesejahteraan hidup bersama-sama dengan lainya. Pada akhirnya, kesejahteraan yang diperolehnya itu digunakan sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat. Bukanlah dunia ini bagaikan ladang untuk digarap dan di tanam dengan tanaman yang berguna bagi hidupnya di akhirat nanti?
Selain itu, dalam kejadian alam ciptaan Allah ini terkandung rahasia yang bila dapat diungkapkan, akan memberikan cakrawala ilmu pengetahuan yang benar serta hikmah-hikmah yang tinggi bagi manusia. Oleh karena itu terserah kepada manusia sendiri, bagaimana cara mengungkapkan rahasia tersebut. Sudah tentu faktor akal budi (ratio), sangat menentukan mampu tidaknya manusia menggali dan mengungkapkan rahasia-rahasia alam tersebut. Untuk itu faktor kegiatan belajar dan mengajar merupakan pangkal tolak dari kemampuan tersebut di atas.( M.Arifin:33-37)

C. Tujuan Pendidikan Islam
Dilihat dari ilmu pendidikan teoritis, tujuan pendidikan ditempuh secara bertingkat, misalnya tujuan intermedier (sementara atau antara), yang dijadikan batas sasaran kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan pada tingkat tertentu, untuk mencapai tujuan akhir.
Tujuan insidental merupakan peristiwa tertentu yang tidak direncanakan, akan tetapi dapat dijadikan sasaran dari proses pendidikan pada tingkat tertentu. Misalnya, peristiwa meletusnya gunung berapi, dapat dijadikan sasaran pendidikan yang mengandung tujuan tertentu, yaitu anak didik timbul kemampuannnya untuk memahami arti kekuasaan Tuhan yang harus diyakini kebenarannya. Tahap kemampuan ini menjadi bagian dari tujuan antara untuk mencapai tujuan akhir pendidikan.
Berbagai tingkat pendidikan yang dirumuskan secara teoritis itu bertujuan untuk memudahkan proses kependidikan melalui tahapan yang makin meningkat (progresif) ke arah tujuan akhir.
Dalam sistem operasionalisasi kelembagaan pendidikan berbagai tingkat tujuan tersebut ditetapkan secara berjenjang dalam struktur program instruksional, sehingga tergambarlah klasidikasi gradual yang semakin meningkat, bila dilihat dari pendekatan sistem instruksional tertentu sebagai berikut:
(1) Tujuan instruksional khusus, diarahkan pada setiap bidang studi yang harus dikuasai dan diamalkan oleh anak didik.
(2) Tujuan instruktusional umum, diarahkan pada pengusaan atau pengamatan suatu bidang umum atau garis besarnya sebagai kebetulan.
(3) Tujuan kurikuler, yang ditetapkan untuk dicapai melalui garis-garis besar program pengajaran ditiap institusi (lembaga) pendidikan.
(4) Tujuan institusional adalah tujuan yang harus dicapai menurut program pendidikan di tiap sekolah atau lembaga pendidikan tertentu secara bulat atau terminal seperti tujuan institusional SMTP / SMTA atau STM / SPG (tujuan terminal)
(5) Tujuan umum atau tujuan nasional adalah cita-cita hidup yang ditetapkan untuk dicapai melalu proses kependidikan dengan berbagai cara atau sistem, baik sistem formal (sekolah), sistem nonformal (non klasikal dan non kurikuler) maupun informal (yang tidak terikat oleh formalitas program, waktu, ruan gdan materi)
Tujuan terakhir dari kependidikan Islan itu terletak dalam realisasi sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, baik secara perorangan, masyarakat, maupun sebagai umat manusia seluruhnya.( M.Arifin:39)
Sebagai hamba Allah yagn berserah diri kepada khaliknya, ia adalah hambaNya yang berilmu pengetahuan dan beriman secara bulat, sesuai kehendak penciptaNya untuk merealisasikan cita-cita yang terkandung dalam kalimat ajaran Allah:


Sesungguhnya sholatku dan ibadahku danhidupku serta matiku hanya untuk Allah, pendidikan sekalian alam.
Mengingat tujuan pendidikan yang begitu luas, tujuan tersebut dibedakan dalam beberapa bidang menurut tugas dan fungsi manusia secara filosofis sebagai berikut :
(1) Tujuan individual yang menyangkut individu, melalui proses belajr dalam rangka mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat.
(2) Tujuan sosial yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat umumnya serta dengan perubahan-perubahan yang diinginkan pada pertumbuhan pribadi, pengalaman dan kemajuan hidupnya.
(3) Tujuan profesional yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu,seni profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat.























BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Pendidikan tidak boleh hanya memberikan bekal untuk membangun, tetapi seberapa jauh didikan yang diberikan itu dapat berguna untuk menunjang kemajuan suatu bangsa. Semangat progresif yang terkandung dalam rumusan pendidikan yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara tersebut nampak mengingatkan kita kepada pesan khalifah Umar Ibn Al Khatab yang mengatakan bahwa anak-anak muda sekarang adalah generasi di masa yang akan datang. Dunia dan kehidupan yang akan mereka hadapi berbeda dengna dunia yang sekarang. Untuk itu apa yang diberikan kepada anak didik harus memperkirakan kemungkinan relevasi dan kegunaannya di masa datang dengan cara demikian eksistensi dan fungsi lulusan anak didik tetap terpelihara dengan baik.
















DAFTAR PUSTAKA

Arifin,H.M.2000.Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Aly, Hery Noer.2003. Watak Pendidikan Islam.Jakarta Utara : Friska Agung Insani.
Aziz, erwati.2003.Prinsip-prinsip Pendidikan Islam. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
http ://mkpd.wordpress.com

hdis









Khoirul Yudi Setyawan







KLASIFIKASI HADIS
1. HADIS QUDSI
a. Pengertian Hadis Qudsi
Secara terminologi hadis qudsi adalah :
هومانقل اليناعن النبي صل الله عليه وسلم مع اسناده اياه الى ربه عزوجل
Yaitu hadis yang diriwayatkan kepada kita dari Nabi SAW yang disandarkan oleh beliau kepada Allah SWT.
Atau :
كل حديث يضيف فيه الرسول صل الله عليه وسلم قولا الى الله عزوجل.
Setiap hadis yang disandarkan Rasulullah SAW perkataannya kepada Allah Azza wa Jalla
Definisi tersebut menjelaskan bahwa hadis Qudsi itu adalah perkataan yang bersumber dari Rasulullah SAW, namun disandarkan beliau kepada Allah SWT. Akan tetapi, meskipun itu perkataan atau firman Allah, hadis Qudsi bukanlah al-Quran.
b. Perbedaan antara Hadis Qudsiy dan al-Quran
antara al-Quran dan Hadis Qudsiy terdapat beberapa perbedaan, yaitu :
1) Al-Quran lafaz dan maknanya berasal dari Allah SWT. Sedangkan hadis Qudsi maknanya berasal dari Allah SWT, sementara lafaznya dari Rasulullah SAW
2) Al-Quran hukum membacanya adalah ibadah, sedangkan hadis Qudsi membacanya tidak dihukumi ibadah
3) Periwayatan dan keberadaan al-Quran disyaratkan harus mutawatir, sementra hadis Qudsi periwayatannya tidak disyaratkan mutawatir
4) Al-Quran adalah mukjizat dan terpelihara dari terjadinya perubahan dan pertukaran serta tidak boleh diriwayatkan secara makna. Sedangkan hadis Qudsi bukanlah mukjizat, dan lafaz serta susunan kalimatnya bisa saja berubah, karena dimungkinkan untuk diriwayatkan secara makna
5) Al-Quran dibaca di dalam shalat sedangkan hadis qudsi tidak
c. Perbedaan antara Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi
Berdasarkan pengertian dan criteria yang dimilki hadis Qudsi, terdapat perbedaan antara hadis Qudsi dan hadis Nabawi, yaitu :
Bahwa Hadis Qudsi, nisbah atau pebangsaannya adalah kepada Allah SWT, dan Rasulullah berfungsi sebagai yang menceritakan atau meriwayatkannya dari Allah SWT. Oleh karena itu, dihubungkanlah hadis tersebut dengan al-Quds (maka dinamai Hadis Qudsi), atau dengan al-Ila (maka dinamai Hadis Ilahi)
Sedangkan Hadis Nabawi, nisbah atau pebangsaannya adalah kepada Nabi SAW dan sekaligus peiwayatannya adalah dari beliau.
عن أبي ذ ررضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم فيما روي عن الله تبا رك وتعا لى انه قال : ياعبادي اني حرمت الظلم على نفسي و جعلته بينكم محرما فلا تظالموا.
Dari Abi Dzar r.a, dari Nabi SAW menurut apa yang diriwaytkan beliau dari Allah SWT, bahwasanya Dia berfirman ," wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharapkan berbuat aniyaya atas diri-Ku dan Aku jadikan kezaliman itu diantar kamu sebagai perbuatan yang haram, maka oleh karena itu jangan lah kamu saling berbuat aniaya.
e. Lafadz-lafadz hadis Qudsi
didalam meriwayatkan hadis Qudsi, ada dua lafaz yang digunakan, yaitu :
قال رسول الله صلي الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل.
Bersabda Rasulullah SAW menurut apa yang diriwayatkan beliau dari Allah SWT
قال الله تعالي , فيما رواه عنه رسول الله صلي الله عليه وسلم .
Berfirman Allah SWT menurut yang diriwayatkan dari padaNya oleh Rasulullah SAW.
2. HADIS MARFU'
a. Pengertian Hadis Marfu'
Hadis Marfu' adalah :
مااضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم من قول او فعل اوتقريرأوصفة.
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan , perbuatan, taqrir (ketetapan) atau sifat.
Dari definisi di atas dapat difahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat beliau disebut dengan hadis Marfu'. Orang yang menyandarkan itu boleh jadi Sahabat, atau selain sahabat. Dengan demikian, sanad dari hadis Marfu' ini bisa Muthasil, bisa pula Munqathi, Mursal, atau Mu'dhal dan Mu'allaq.
b. Hukum Hadis Marfu'
Hukum hadis Marfu' tergantung pada kwalitas dan bersambung atau tidaknya sanad, sehingga dengan demikian memungkinkan suatu hadis Marfu' itu berstatus shahi, hasan, atau dhaif.
3. HADIS MAUQUF
a. Pengertian Hadis Mauquf
Beberapa ulama hadis memberikan terminology hadis Mauquf sebagai berikut :
هوما رواه عن الصحابي من قول له أو فعل أو تقرير , متصلا كان أو منقطعا.
Yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat dalam bentuk perkataan, perbuatan, atau taqrir beliau, baik sanadnya muttashil atau munqathi.
ما أضيف الى الصحا بي من قول أو فعل أو تقو ير.
Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat berupa perkataan, perbuatan, atupun taqrir beliau.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang diriwayatkan atau dihubungkan kepada seorang sahabat atau sejumlah sahabat baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, disebut hadis mauquf, dan sanad hadis mauquf tersebut boleh jadi muttashil atau munqathi.
Contoh hadis mauquf :
قول البخاري : قال علي بن أبي طا لب رضي الله عنه : حدثوا الناس بما يعر فون, أ تريدون ان يكذب الله ورسوله.
Bukhari berkata, "Ali r.a berkata, bicaralah dengan manusia tentang apa yang diketahui/difahaminya, apakah kamu ingin bahwa Allah dan Rasul-Nya didustai."
قول البخاري : وأم أنُِِِ عَباس وهوميمم.
Bukhari berkata, "dan Ibnu Abas telah menjadi imam dalam shlat sedangkan dia bertayamum."
Para Fuqoha Khurasan menamai hadis mauquf dengan atsar, dan hadis marfu dengan khabar. Namun para ahli hadis menamai keduanya dengan atsar. Karena atsar pada dasarnya berarti riwayat atau sesuatu yang diriwayatkan.
b. Hadis Mauquf yang berstatus Marfu'
Diantara hadis mauquf terdapat hadis yang lafadz dan bentuknya mauquf, namun setelah dicermati hakikatnya bermakna marfu', yaitu berhubungan dengan Rasul SAW. Hadis yang demikian dinamai oleh para ulama hadisdengan al-Mauquf lafdzhan al-Marfu' ma'nan,yaitu secara lafaz berstatus mauquf, namun secar mkana bersifat marfu'
c. Hukum hadis Mauquf
Apabila suatu hadis mauquf berstatus hukum marfu sebagaimana yang dijelaskan diatas, dan berkwalitas shahih atau hasan, maka ststus hukumnyapun sama dengan hadis marfu itu.
Akan tetapi jika tidak berstatus marfu, maka para ulama hadis berbeda pendapat tentang kehujahannya.
4. HADIS MAQTHU'
a. Pengertian Hadis Mqthu'
secara terminology hadis maqthu' adalah :
وهو الموقوف التابعي قولا له أوفعلا.
Yaitu sesuatau yang terhenti (sampai)pada Tabii baik perkataan maupun perbuatan tabi'i tersebut.
ماأضيف الى التابعي أو من دونه من قول أوفعل .
Sesuatu yang disandarkan kepada tabi'i atau generasi yang datang sesudahnya berupa perkataan atau perbuatan.
Hadis Maqthu tidak sama dengan munqhati, karena maqthu adalah sifat dari matan, yaitu berupa perkataan Tabi'in atau Tabi at-Tabi'in, sementar munqathi adalah sifat dari sanad, yaitu terjadinya keterputusan sanad.
b. Contoh Hadis Maqthu'
قول الحسن البصري في الصلاة خلف المبتدع : صل وعليه بد عته.
Perkataan Hasan Bashri mengenai shalat di belakang ahli bid'ah" Shlatlah dan dia akan menanggung dosa atas perbuatan bid'ahnya"
c. Status Hukum Hadis Maqthu'
Hadis Maqthu' tidak dapat dijadiakan sebagai hujjah atau dalil untuk menetapkan suatu hukum, karena status dari perkataan Tabi'in sama dengan perkataan Ulama lainnya.
KESIMPULAN
 hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan beliau. Akan tetapi jika dicermati secara mendalam maka akan ada beberapa klasifikasi yang ditinjau kepada siapakah hadis tersebut disandarkan. Yaitu:
hadis qudsi,hadis marfu’,hadis mauquf,hadis maqthu’.
DAFTAR PUSTAKA
 Al-khatib, M. Ajaj, “Usul al-hadis:’ulumuhu wa mustlahuhu”:Dar al-fikr, 1409 H/1989 M
 At-tohal Mahmud, “Taisir mustalah al-hadis” Beirut: Dar Al-qur’an Al-karim, 1399 H/ 1979 M


A. DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Ta'rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:

"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."

Artinya:
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:

"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).

c. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath'i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
d. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1. Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :

"Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya."
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :

"Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi."
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :

"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."

Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :


Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2. Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah :

Artinya :
"Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum."

Artinya:
"Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz."

Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh :

Artinya :
"Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)

Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :

Artinya :
"Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau."

3. Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :

Artinya :
"Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu."

Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.
Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.

2. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:
Artinya:
"Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: "
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:

Artinya:
"Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."
b. Faedah hadis ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa "Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.

B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS

Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.

Artinya :
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan."
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadis :

Artinya :
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."
Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir.
Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah.
Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif.
1. Hadis Sahih
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :

Artinya :
"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."

Keterangan lebih luas mengenai hadis sahih diuraikan pada bab tersendiri.

2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :

Artinya :
"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan."
3. Hadis Daif
Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadis daif :

Artinya :
"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan."
Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.

C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.
a. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:

Artinya:
"Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:
* Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
* Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadis maqbulun bihi dan hadis gairu ma'mulin bihi.
1. Hadis maqmulun bihi
Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:
a. Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b. Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah
c. Hadis nasih
d. Hadis rajih.
2. Hadis gairo makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
a. Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b. Hadis mansuh
c. Hadis marjuh.
B. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :

Artinya:
"Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan."

Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:

Artinya:
"Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun."
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.
D. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA
1. Hadis Muttasil
Hadis muttasil disebutjuga Hadis Mausul.

Artinya:
"Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu' maupun hadis mauquf."
Kata-kata "hadis yang didengar olehnya" mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadis Mu 'an 'an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam menyampaikan hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.
Contoh Hadis Muttasil Marfu' adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: "Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya"

Contoh hadis mutasil maukuf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:

Artinya:
"Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya."
Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur mudaddisin berkata, "Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan "Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya ". Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadis maqtu' adalah lawan Hadis mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi'in.
2. Hadis Munqati'
Kata Al-Inqita' (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqita' adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.
Definisi Munqati' yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:

Artinya:
"Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."
Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:

Artinya:
Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati' (terputus) persambungannya."
Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata, "Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya". Dengan demikian, hadis munqati' merupakan suatu judul yang umum yangmencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya.
Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:

Artinya:
"Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad."
Definisi ini menjadikan hadis munqati' berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan "Salah seorang rawinya" defnisi ini tidak mencakup hadis mu'dal; dengan kata-kata, "Sebelum sahabat" definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan dengan penjelasan kata-kata "Tidak pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadis muallaq.

Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kuantitas
Posted by Hitsuke at 8:05 AM . Wednesday
Labels: Makalah
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis persembahkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus untuk menjadi rahamat sekalian alam. Seiring dengan itu, tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini menjelaskan secara ringkas mengenai klasifikasi hadis dari segi kuantitasnya. Penulis menyadari akan kekurangan dari makalah ini. Karena “Tak ada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, saran dan masukan dari berbagai pihak sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah ini dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat berguna bagi pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN
Pada Awalnya rasulullah SAW melarang sahabat untuk menulis hadis, karena dikhawatirkan bercampur baur penulisannya dengan Al-Qur'an. Perintah untuk melukiskan hadis yang pertama kali oleh khalifah umar bn abdul azis. Beliau penulis surat kepada gubernur di madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr hazm al-alsory untuk membukukan hadis. Sedangkan ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Arroby bin Sobiy dan Said bin Abi Arobah, akan tetapi pengumpulan hadis tersebut masih acak (tercampur antara yang sohih dengan dhoif, dan perkataan para sahabat).
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan beragam. Tetapi kebingungan itu kemudian menjadi hilang setelah melihat pembagian hadis yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja.
Hadis memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki pembahasan yang unik dan tersendiri. dalam makalah ini akan dikemukakan pembaian hadis dari tinjauan kuantitas perawi. Sedangkan tinjauan mengenai kualitas akan dibahas oleh makalah yang dibawakan oleh kelompok lain.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para perawi para penulis hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda. Sedangkan mereka melihat pembagian hadis dari segi bagaimana proses penyampaian hadis dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau jumlah perawinya.
BAB II
PEMBAHASAN
Kuantitas hadis disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadis atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad , disamping pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi tiga macam yaitu: hadis mutawatir , hadis masyhur (hadis mustafidh) dan hadis ahad .
A. Hadis Mutawatir
1. Pengertian Hadis Mutawatir
Dari segi bahasa, mutawatir, berarti sesuatu yang dating secara beriringan tanpa diselangai antara satu sama lain. Adapun dari segi istilah yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad. Dan sanadnya mereka adalah pancaindra. Berdasarkan definisinya ada 4 kriteria hadis mutawati, yaitu sebagai berikut :
a. Diriwayatkan Sejumlah Orang Banyak
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada para perawi hadis tersebut dan tidak ada pembatasan yang tetap. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang, 10 orang, 40 orang, 70 orang bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Namun, pendapat yang terpilih minimal 10 orang seperti pendapat Al-Ishthikhari.
b. Adanya Jumlah Banyak Pada Seluruh Tingkatan Sanad
Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak dinamakan mutawatir , tatapi dinamakan ahad atau wahid.
c. Mustahil Bersepakat Bohong
Di antara alas an pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan adanya kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan dengan realita dunia modern dan kejujurannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, apalagi jika ditunggangi masalah politik dan lain-lain. Demikian halnya belum dikatakan mutawatir karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk berkosensus berbohong.
d. Sandaran Berita Itu Pada Pancaindra
Maksud sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal seperti tentang sifat barunya alam, berdasarkan kaedah logika; Setiap yang baru itu berubah (Kullu hadis in mutghayyirun). Alam berubah (al-alamu mutaghayyirun). Jika demikian, Alam adalah baru (al-alamu hadis un). Baru artinya sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Jika berita hadis itu logis, maka tidak mutawatir . Sandaran berita pada pancaindra misalnya ungkapan periwayatan:
Kami mendengar [dari Rasulullah bersabda begini]
: Kami sentuh atau kami melihat [Rasulullah melakukan begini dan seterusnya].
2. Pembagian Hadis Mutawatir
Sebagian jumhur ulama menyebutkan Hadis Mutawatir ada 3 yaitu :
a. Hadis Mutawatir Lafdhi
Hadis mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula, juga dipandang sebagai hadis mutawatir lafdhi, hadis mutawatir dengan susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama makna atau maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadis itu tetap sama.
Contoh hadis mutawatir lafdhi yang artinya:
“ Rasulullah SA W, bersabda: “Siapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya dalam neraka” (Hadis Riwayat Bukhari). “
Hadis tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, ada enam puluh orang sahabat, Rasul yang meriwayatkan hadis itu dengan redaksi yang sama.
b. Hadis Mutawatir Maknawi
Hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya. Dengan kata lain, hadis-hadis yang banyak itu, kendati berbeda redaksi dan perincian maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama.
Jumlah hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir maknawi jauh lebih banyak dari hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir lafdhi.
Contoh hadis mutawatir maknawi yang artinya:

“ Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdoa memohon hujan (Hadis Riwayat Mutafaq' Alaihi). ”
c. Hadis Mutawatir ‘Amali
Hadis mutawatir ‘amali adalah hadis mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya. Contoh : Hadis-hadis Nabi tentang waktu shalat, tentang jumlah rakaat shalat wajib, adanya shalat Id, adanya shalat jenazah, dan sebagainya.
Segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadis mutawatir ‘amali. Seperti hadis mutawatir maknawi, jumlah hadis mutawatir ‘amali cukup banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘ied, dan kadar zakat harta.
3. Kedudukan Hadis Mutawatir
Seperti telah disinggung, hadis-hadis yang termasuk kelompok hadis mutawatir adalah hadis-hadis yang pasti (qath'i atau maqth'u) berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama menegaskan bahwa hadis mutawatir membuahkan “ilmu qath'i” (pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti bahwa perkataan, perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama juga biasa menegaskan bahwa hadis mutawatir membuahkan “ilmu dharuri” (pengetahuan yang sangat mendesak untuk diyakini atau dipastikan kebenarannya), yakni pengetahuan yang tidak dapat tidak harus diterima bahwa perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang disampaikan oleh hadis itu benar-benar perkataan, perbuatan, atau persetujuan Rasulullah SAW.
Taraf kepastian bahwa hadis mutawatir itu sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah SAW, adalah penuh dengan kata lain kepastiannya itu mencapai seratus persen.
Oleh karena itu, kedudukan hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadis ahad .
B. Hadis Ahad
1. Pengertian Hadis Ahad
Ahad (baca: aahaad) menurut bahasa adalah kata jamak dari waahid atau ahad . Bila waahid atau ahad berarti satu, maka aahaad, sebagai jamaknya, berarti satu-satu. Hadist ahad menurut bahasa berarti hadist satu-satu. Sebagaimana halnya dengan pengertian hadist mutawatir , maka pengertian hadist ahad , menurut bahasa terasa belum jelas. Oleh karena itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadist ahad antara lain berbunyi: hadist ahad adalah hadist yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadist mutawatir , baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadist dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir , atau dengan kata lain Hadis Ahad adalah hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir.
2. Pembagian Hadis Ahad
a. Hadist Masyhur (Hadist Mustafidah)
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan hadist mustafidah sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu: hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau mencapai derajat hadist mutawatir . Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadist mutawatir .
Contoh hadist masyhur (mustafidah) adalah hadist berikut ini:
Yang artinya:
“ Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) “
Hadist di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke tingkat imam-imam yang membukukan hadist (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.
b. Hadist ‘Aziz
‘ Aziz menurut bahasa, berarti: yang mulai atau yang kuat dan juga berarti jarang. Hadist ‘aziz menurut bahasa berarti hadist yang mulia atau hadist yang kuat atau hadist yang jarang, karena memang hadist ‘aziz itu jarang adanya. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadist ‘aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.
Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadist pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua rawi maka hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist ‘aziz.
Contoh hadist aziz adalah hadist berikut ini:
Yang artinya:
“ Rasulullah SAW bersabda: “Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari qiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah) “
Hudzaifah dan abu hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadist tersebut adalah dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadist itu diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist ‘aziz.
c. Hadist Gharib
Gharib, menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain. Hadist gharib menurut bahasa berarti hadist yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun dalam sanad. Dari segi istilah ialah Hadis yang berdiri sendiri seorang perawi di mana saja tingkatan (thabaqah) dari pada beberapa tingkatan sanad.

Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadist hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.

Contoh hadist gharib itu antara lain adalah hadist berikut:
Yang artinya:
“ Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain) “
3. Kedudukan Hadis Ahad
Bila hadist mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian hadist ahad . Hadist ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga ( zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadist ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau.
Karena hadist ahad itu tidak pasti (hgairu qath'i atau ghairu maqthu'), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadist ahad , sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadist mutawatir . Lain berarti bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist ahad , bertentangan isinya dengan hadist mutawatir , maka hadist tersebut harus ditolak.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Demikian hadis dilihat dari kuantitas jumlah para perawi yang dapat menunjukkan kualitas bagi hadis mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para perawi secara individu, atau menunjukan kualitas hadis ahad, jika disertai pemeriksaan memenuhi persyaratan standar hadis yang makbul. Hadis ahad masih memerlukan barbagai persyaratan yaitu dari segi sifat-sifat kepercayaan para perawi atau sifat-sifat yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran berita secara individu yaitu sifat keadilan dank e-dhabith-an, ketersambungan sanad dan ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadis mutawatir secara absolute dan pasti (qath'i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh hadis ahad bersifat relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan.
Dalam kehidupan sehari-hari seseorang dalam melaksanakan Islam tidak lepas dari zhann dan itu sah-sah saja, misalnya menghadap ke kiblat ketika shalat, pemeraan air mandi janabah pada seluruh anggota badan, masuknya waktu imsak dan fajar bagi orang yang berpuasa, dan lain-lain. Pengertian zhann tidak identik dengan syakk (ragu) dan juga tidak identik dengan waham . Zhann diartikan dugaan kuat (rajah) yang mendekati kepada keyakinan, syakk diartikan dugaan yang seimbang antara ya dan tidak sedang waham adalah dugaan lemah (marjuh) antomim zhann .
B. Saran
Kami selaku pemakalah mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua agar makalah ini dapat dibuat dengan lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Nawawi, I. (2001). Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.

As-Shalih, S. (1997). Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Pustaka Firdaus: Jakarta.

Ismail, M. S. (1994). Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.

Khon, A. M. (2008). Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.

Mudzakir, M. (1998). Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.

Rahman, F. (1974). Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma'arif.

http://rud1.cybermq.com/post/detail/2237/klasifikasi-hadits Drs. H. Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung :CV Pustaka Setia, 1998) hlm. 87 As-Sayuthi, Tadrib Ar-Rawi…, Juz 2, hlm. 225 Baru diartikan wujudnya sesuatu setelah tidak ada atau diciptakan, tidak wujud dengan sendirinya. Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung : Angkasa, 1994) hlm. 139 Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, (Bandung : Alma'Arif, 1974) hlm. 86 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, (Jakarta: Amzah, 2008) hlm.143 khirNTI
KLAKSIFIKASI HADIS