Senin, 02 November 2009

ulumul hadis- hadis dari kuantitas rawi

PEMBAGIAN HADIS DARI KUANTITAS RAWI

















Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi
Tugas ulumul hadis


Dosen Pengampu : Dr. Erwati Aziz, M.Ag

Disusun Oleh :

1. Iwan Santoso (30.08.3.1.07 )
2. Joko Pitoyo (30.08.3.1.0 )
3. Khoirul Yudi Setiawan (30.08.3.1.082)







JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKSN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SURAKARTA
2009

BAB I
PENDAHULUAN
Pada Awalnya rasulullah SAW melarang sahabat untuk menulis hadis, karena dikhawatirkan bercampur baur penulisannya dengan Al-Qur'an. Perintah untuk menuliskan hadis yang pertama kali oleh khalifah umar bin abdul azis. Beliau penulis surat kepada gubernur di madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr hazm al-ansory dan Ibnu Shahab Al-zahri untuk membukukan hadis. Sedangkan ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Arroby bin Sobiy dan Said bin Abi Arobah, akan tetapi pengumpulan hadis tersebut masih acak (tercampur antara yang sohih dengan dhoif, dan perkataan para sahabat).
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan beragam. Tetapi kebingungan itu kemudian menjadi hilang setelah melihat pembagian hadis yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja.
Hadis memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki pembahasan yang unik dan tersendiri. dalam makalah ini akan dikemukakan pembaian hadis dari tinjauan kuantitas perawi. Sedangkan tinjauan mengenai kualitas akan dibahas oleh makalah yang dibawakan oleh kelompok lain.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para perawi para penulis hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda. Sedangkan mereka melihat pembagian hadis dari segi bagaimana proses penyampaian hadis dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau jumlah perawinya.








BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis Mutawatir
1. Pengertian Hadis Mutawatir
Arti mtawatir dalam bahasa berarti al-muttatabi berarti, yang datang kemudian, beriring-iringan, atau beruntung. Secara istilah ada beberapa redaksi pengertian mutawatir, yaitu sebagai:
a. hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang mistahil menurut tradisi mereka sepakat untuk berdusta dari sesama jumlah banyak dari awal sanad sampai akhir.
b. Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak dari sejumlah orang banyak pula yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat bohong.
c. Hadis yang didasarkan pada panca indra (dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat bohong.
Dari definisi diatas dapat dijelaskan bahwa hadis yang bersifat indrawi (didengar atau dilihar) yang diriwayatkan oleh banyak orang yang mencapai maksimal di seluruh sanad dan akal menghukumi mustahil menurut tradisi (adat) jumlah yang maksimal itu berpijak untuk kebohongan.
2. berdasarkan definisi diatas ada 4 kriteria hadis mutawatir:
a. Diriwayatkan sejumlah orang banyak
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada para perawi hadis tersebut dan tidak ada pembatasan yang tetap. Jumlah rawy-rawynya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong(Fatctur rahman 1970: 60). Para ulama berbeda-beda pendapatnya tentang batasan yang diperlukan untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.(Fatctur rahman 1970: 60-61)
1) Abu’t-Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, karena diqiyaskan dengan banyak saksi yang diperlukan hakim untuk memberikan vonis kepada terdakwa.
2) Ash-habu’sy-Syafi’iy menentukan minimal 5orang, karena menqiyaskanya dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar ulu’l ‘azmi.
3) Dsebagai Ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang berdasarkan ketentuan yang di firmankan Allah dalam surat Al-anfal 65, tentang sugesti Tuhan kepada orang-orang Mu’min yang pada tahan uji, yang hanya dengan berjumlah 20 oarng saja mampu mengalahkan orang kafirsejumlah 200 orang.:
      
jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. (Al-anfaal:65)

4) Ulama yamg lain menetapkan jumlah tersbut sekurang-kurangnya 40 orang, karena mereka mengqiyaskan dengan dengan firman Allah:
 •    •  
Hai nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.

b. Adanya jumlah banyak pada seluruh tigkat sanad
Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak dinamakan hadis mutawatir, tetapi dinamakan ahad atau wahid. Persamaan jumlah para perawi tidak berarti harus sama angka nominalnya, mungkin saja jumlah angka nominalnya berbeda namun milai verbalnya sama, yakni sama banyak. Misalnya pada awal tigkat sanad 10 orang, tingkat sanad berikutnya menjadi 20 orang, 40 oarng, 100 orang dan seterusnya. Jumlah yang seperti ini tetap dinamakan sama banyak dan tergolong mutawatir.
c. Mustahil bersepakat bohong.
Misalnya para perawi dalam sanad itu datang dari beberapa negara yang berbeda, dan pendapat yang berbeda pula. Sejumlah para perawi yang banyak ini secara logika mustahil terjadi adanya kesepakatan berbohong secara urut (tradsi). Pada masa awal pertumbuhan hadis, memang tidak bisa di analogikan dengan masa modern masa sekarng ini. Disamping kejujuran, dan daya memori mereka yang masih handal, transportasi antar daerah tidak mudah sekatang, perlu waktu berbulan-bulan dalam kunjungan kesuatu negara. Berdasarkan ini, jika periwayatan hadis berjumlah besar sangat sulit nereka sepakat berbohong dalam suatu suatu periwayatan. Di antara alas an pengingkaran sunnah dalam penolakan mutawatir adalah penyampaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan adanya kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan dengan realita dunia modrn dan kejujuranya yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, apalagi jika ditunggangi oleh masalah politik dan lain-lain. Demikian halnya belum diakatakan mutawatir karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk sepakat berbohong.
d. Sandaran berita itu pada panca indra
Maksud sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat dngan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal.(Abdul Majid Khan, 2009: 152)
Jumlah hadis mutawatir tidak banyak atau sedikit dan langka sebagaimana yang diduga oleh ibnu Ash-Shalah atau yang lainya. Syaikh Al-Islam Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan, bahwa dugaan tersebut karena kurang meneliti banyaknya sanad dan kondisi serta sifat-sifat para perawi yang menurut tradisi mustahil terjadi kesepakataan bohong. Hadis mutawatir memang sedikit jumlahnya di bandingkan dengan hadis ahad tetapi cukup banyak sebagaimana yang dijelaskan pada buku buku hadis mutawatir yang tenar. Diantaranya hadis tentang telaga (al-hawdh) diriwayakan oleh 50 orang sahabat, hadis menyapu sepatu (khawf) diriwayatkan 70 orang sahabat, hadis tentang mengagkat kedua tangan dalam shalat oleh 50 oarng sahabat, dan lain-lain.

A. Hadis Ahad
1. Pengertian Hadis Ahad
Menurut istilah hadis Ahad adalah: hadis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadis mutawatir. Perawi hadis Ahad tidak mencapai jumlah banyak yang meyakinkan bahwa mereka tidak mungkin bersepakat bohong sebagaimana dalam hadis mutawatir, ia hanya diriwayatkan satu, dua, tiga empat dan atau lima yang tidak mencapia mutawatir. Hadis ahad mempunyai faedah ilmu nazhari, artinya ilmu yang diperlukan peneliti dan pemeriksaan terlebuih dahulu, apakah jumlah perawi yang sedikit itu memiliki sifat-sifat kredebilitas yang dapat dipertanggung jawabkan atau tidak.

2. Macam-macam Hadis Ahad
Pembagian hadis Ahad ada tiga macam, yaitu hadis masyhur, aziz, dan ghorib.
a. Hadis masyhur
Dalam bahasa kata masyhur diartikan tenar, terkenal dan menampakan. Dalam istilah hadis masyuh terbagi menjadi 2 macam:
1) Masyhur ishthilahi
Hsadis yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih pada setiap tingkatan (thobaqoh) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir. Sebagian Ulama berpendapat hadis masyhur sinonim dengan hadis mustafidh (dalam bahasa diartikan penuh dan tersebar) dan sebagian ulama lain berpendapat bahwa mustafidh lebih khusus. Karena dalam mustafidh disyaratkan dua ujung sanadnya harus sama jumlahnya yakni 3 orang atau lebih.(fc )
2) Masyhur Ghayru Ishthilahi
Hadis Ghayru Ishthilahi adalah hadis yang terpopuler atau terkenal di kalangan golongan atau kelompok orang tertentu, sekalipun jumlah periwayatan dalam sanad tidak mencapai 3 orang atau lebih. Popularitas hadis masyhur disini tidak dilihat dari jumlah para perawi sebagai mana masyhur Ishthilahi diatas, tetapi tekananya lebih dari polularitas hadis itu sendiri ini di kalangan kelompok orang atau ulama dalam bidang ilmu tertentu.
Hukum hadis baik msyhur maupun ghayru Istilaahii tidak seluruhnya dinyatakan shohih atau tidak shohih, akan tetapi tergantungkepada hasil pemeriksaan para Ulama. Sebagian hadis masyhur ada yang shohih, sebagian hasan , dan dho’if, bahkan ada yang maudhu’. Namun memang diakui bahwa keshohihan hadis masyhur ishthilahi lebih kuat dari pada keshohihan hais aziz dan ghorib yang diriwayatkan satu atau dua orang perowi saja.

b. Hadis Aziz
Dari segi bahasa ‘aziz berasal dari kata, ‘azza, ya’izzu yang berarti sedikit langka atau kuat. Disebut(sedikit, langka atau kuat) karna sedikit atau langka adanya atau terkadang menjadi kuat ketika didatangkan sanad laen.( fc)
Sedangkan menurut istilah hadis Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqoh saja kemudian setelah itu, orang-orang pada meriwayatkanya. Menurut ta’rif tersebut, yang dikatakan hadits Aziz itu, bukan saja yang diriwayatkan oleh dua orang rawy pada setiap thabaqah, yakni sejak dari thabaqah pertama sampai dengan thabaqah yang terakhir harus terdiiri dari dua-dua orang, sebagaimana yang di ta’rifkan oleh sebagian muhaditsin, tetapi selagi pada salah satu thabaqah (lapisanya) saja, di dapati dua orang rawy. Suadh bisa dikatakan hadis ‘Aziz.(Fatchur Rahman 1987:74). Hukum hadis Aziz adakalanya sahih, hasan dan dha’if tergantung persyaratan yang terpenuhi, apakah memenuhi seluruh kriteria persyaratan shahih atau tidak. Jika memenuhi segala persyaratanya berarti berkhualitas sahih dan jika tidak memenuhi sebagian atau sekuruh persyaratan maka tergolong hadis hasan atau dha’if.

c. Hadis Gharib
Dari segi bahasa ghorib juga bersifat musyabbahah(serupa dengan isim fa’il atau isim maf’ul) yang berarti sendirian, terisolir jauh darikerabat, perantau, asing, dan sulit dipahami.
Yang dimaksud hadis gharib ialah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan. Dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi. .(Fatchur Rahman 1987:74). Sedang nama lain yang satu arti dengan hadis ghorib dalam istilah adalah hadis fard. Kata fard dalam bahasa diartikan tunggal dan satu. Hadis ghorib dan fard mempunyai makna yang sama yaitu hadis yang terdapat hanya seorang perowi dalam satu tingkatan sanad atau pada sebagian timgkatan sanad walaupun dalam salah satu tingkatan saja sedangkan pada timgkatan yang laen lebih dari satu orang.( ) Hadis gharib dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
1) Gharib mutlaq/fard mutlaq
Adalah apabila keghoriban itu terletak pada asal sanad (asal sanad adalah tabi’in) maka disebut gharib mutlaq/fardmutlaq, walaupun setelah tabi’I itu banyak yang meriwayatkanya.(Moh. Anwar,1981:26)
2) Gharib nisbi/fard nisbi
Gharib nisbi/fard nisbi adalah apabila keghariban itu terjadi ditengah sanad, yakni sesudah tabi’in maka disebut gharib nisby/fard nisby. Seperti beberapa sahabat meriwayatkan hadis tertentu dan diterima oleh beberapa tabi’in, namun setelah tabi’in itu, hanya seorang perawi saja yang meriwayatkanya.(Moh. Anwar,1981:26)
Gharib Nisbi terbagi menjadi 3 maam, yaitu sebagai berikut:
a) Muqoyyad bi ats-tsiqoh
b) Muqoyyad bi al-balad
c) Muqoyyad bi ar-rowi

3. Kriteria Hadis Ahad
Kriterria hadits menurut imam madzab:
a. Abu Hanifah mensyaratkan kita utuk menyaratkan untuk kita mengamalkan kahabar Wahid, syarat-syarat yang tersebut ini:
1) Perawinya tidak mnyalahi riwayatnya. Jika rawi menyalahi riwayatnya, maka yang kita turuti, pendapatnya bukan riwayatnya: karena perawi tidak menylahi riwayatnya, kalau bukan karena ada keterangan-keterangan yang telah menasahkan.
2) Riwayat itu tidak mengenai soal yang umum bahwa, karena soal-soal yang umum bahwa tentu diriwayatkan oleh orang ramai. Lantaran itu, ditolaklah hadis.
3) Riwayat itu tidak menyalahi qiyas.
b. Ulama-ualama Malikiyah tidak mengamalkan hadis Ahad yang menyalahi amalan-amalan (‘uruf) ulama-ulama madinah. Lantaran dipandang bahwa amalan-amalan ulama madinah itu, sama dengan riwayatnya.
c. Asy Syafi’I tidak mensyaratkan kemasykuran, tidak berlawananya dengan amalan penduduk madinah, dan tiada menyalahi qiyas. Beliau hanya mensaratkan sanya sanad dengan ittishal. Dan Asy Safi’i menolak segala hadis mursl, selain dari mursal Ibnul Musaiyah.
d. Ahmad tidak sekali-kali mau mendahulukan sesuatu pendapat, sesuatu yang qiyas, sesuatu fatwa shahabi dsb. Atas hadis marfu’

4. Kedudukan Hsadits dalam berhujjah
Kedudukan hadis Ahad dalam berhujjah menurut jumhur Ulama:
a. Menurut jumhur ulama hadis ahad wajib diamalkan jika memenuhi seperangkat persyaratan makbul. Imam Ahmad, Dahwud Azh-zahiri, Ibnu Hazm, dan sebagian Muhadditsin berpendapat hadis Ahad ilmu dan wajib diamalkan. Sedangkan Hanafiyah, Asy Syafi’iyah dan mayoritas Malikiyah berpendapat bahwa hadis ahad memberi faedah zhann (dugaan kuat, relatif kebenaranya) dan wajib diamalkan. Jadi semua Ulama meneriama hadis ahad dan mengamalkanya, tidak ada yang menolak diantara mereka, kecuali jika pada hadis tersebut terdapat kecacatan.
b. Sebagian muhaqiqin menetapkan, bahwa hadis Ahad itu wajib diamalkan dalam urusan amaliyah (furu’):ibadat, kaffarat dan hudud (hukum badan ) saja, tidak boleh dipakai dala urusan “aqa-id (kepercayaan). Gologan ini mengatakan bahwa: “hadis ahad tidak dapat dipakai untuk menetapkan sesuatu kepercayaan: karena kepercayaan-kepercayaan itu harus berdalil qath’I, sedang hadis ahad tiada qath’i, dia dhanni semata-mata.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Demikian hadis dilihat dari kuantitas jumlah para perawi yang dapat menunjukkan kualitas bagi hadis mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para perawi secara individu, atau menunjukan kualitas hadis ahad, jika disertai pemeriksaan memenuhi persyaratan standar hadis yang makbul. Hadis ahad masih memerlukan barbagai persyaratan yaitu dari segi sifat-sifat kepercayaan para perawi atau sifat-sifat yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran berita secara individu yaitu sifat keadilan dank e-dhabith-an, ketersambungan sanad dan ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadis mutawatir secara absolute dan pasti (qath'i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh hadis ahad bersifat relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan.
Dalam kehidupan sehari-hari seseorang dalam melaksanakan Islam tidak lepas dari zhann dan itu sah-sah saja, misalnya menghadap ke kiblat ketika shalat, pemeraan air mandi janabah pada seluruh anggota badan, masuknya waktu imsak dan fajar bagi orang yang berpuasa, dan lain-lain. Pengertian zhann tidak identik dengan syakk (ragu) dan juga tidak identik dengan waham . Zhann diartikan dugaan kuat (rajah) yang mendekati kepada keyakinan, syakk diartikan dugaan yang seimbang antara ya dan tidak sedang waham adalah dugaan lemah (marjuh) antomim zhann .
B. Saran
Kami selaku pemakalah mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua agar makalah ini dapat dibuat dengan lebih baik lagi.

1 komentar:

  1. I'm appreciate your writing skill.Please keep on working hard.^^

    BalasHapus