Minggu, 01 November 2009

maklah ipi

Disusun Oleh :

1. Imam Budi Utomo (30.08.3.1.075)
2. Khoirul Yudi Setiawan (30.08.3.1.082)
3. Muhammad Aref (30.08.3.1.104)








BAB I
PENDAHULUAN


Pendidikan merupakan suatu pendidikan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju kepribadian yang utama.
Pendidikan juiga merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang bertujuan untuk membentuk kedewasaan pada diri anak. Proses pendidikan ini dikemas dalam suatu sistem yang saling berkaitan antara satu unsur dengan unsur yang lainnya. Pendidikan dalam islam mempunyai sistem yang dapat dijadikan dasar dalam pengembangan pendidikan secara operasional.
Unsur-unsur yang saling tekait dalam sistem pendidikan terdiri atas komponen-komponen: tujuan, anak didik, pendidik, lingkungan dan alat pendidikan. Sistem pendidikan ini mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan zaman sehingga hasil dari pendidikan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa sistem berarti perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan. Sehingga membentuk suatu totalitas. Susunan yang teratur dari pandangan,teori, asas, dan sebagainya. Sistem juga dapat diartikan dengan metode.
Kalau dikaitkan dengan pengertian dan tujuan pendidikan Islam, maka dapat dipahami bahwa sistem pendidikan Islam adalah seperangkat unsur yang terdapat dalam pendidikan yang berorentasi pada ajaran Islam yang saling berkaitan sehingga membentuk suatu kesatuan dalam mencapai tujuan yaitu membentuk kepribadian utama.
Sistem pendidikan Islam yang ada sekarang ini merupakan pengembangan dari sistem pendidikan terdahulu. Kemudian mengalami perkembangan sehingga komponen sistem terdiri atas tujuan, pendidikan, anak didik, sarana/alat, dan lingkungan.





BAB II
ISI

A. Budaya Sebagai Pendidikan Islam
Pesantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berakar panjang pada budaya bangsa Indonesia. Dari segi historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga keaslian (indigenous) Indonesia; sebab lembaga serupa sudah terdapat pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sedangkan Islam meneruskan dan mengislamkannya (Rahardjo, ed, 1985 : 3).
Pesantren berkembang dalam pranatanya yang khas selama berabad-abad sebagai lembaga pendidikan lslam yang mandiri dan bebas dari pengaruh pendidikan Barat-Eropa. Isinya ialah pendidikan rohaniah keislaman yang menentukan falsafah hidup para santri serta merupakan landasan spiritual, moral, dan etik dalam berbagai bidang kehidupan. Di samping itu, kepada para santri diberikan pelajaran atau pengetahuan yang merupakan pelengkap atau tambahan isi pokok pendidikan. Dalam hal ini, tiap-tiap pesantren memiliki spesialisasi sendiri sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh kyainya, seperti nahwu dan sharaf, aqidah, tasawuf, tafsir, hadis, dan bahasa Arab. Penyelenggaraan pendidikannya dijiwai oleh suasana sebagai berikut:

1. Jiwa keikhlasan. Segenap aktivitas kehidupan di pesantren seperti kyai dalam mengajar, para santri dalam belajar, dan lurah (ketua santri) dalam membantu kyai, diniati untuk beribadah kepada Allah semata.
2. Jiwa kesederhanaan. Sederhana mengandung unsur-unsur kekuatan dan ketabahan hati dalam menghadapi segala kesulitan; bukan pasrah kepada keadaan, sedangkan hati menginginkan yang lebih.
3. Jiwa kesanggupan menolong diri sendiri. Dengan jiwa ini para santri selalu belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, sementara pesantren sebagai lembaga pendidikan juga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan dan belas kasihan orang lain.
4. Jiwa ukhuwwah Islamiyyah. Kehidupan di pesantren diliputi suasana persaudaraan yang akrab, persatuan, dan gotong-royong, sehingga segala kesenangan dirasakan bersama dan segala kesulitan dapat diatasi bersama.
5. Jiwa bebas. Kebebasan terwujud dalam berpikir, berbuat, menentukan nasib sendiri, dan memilih jalan hidup di masyarakat. Kebebasan di sini tetap berada dalam batas-batas kepemimpinan kyai, sehingga para santri tetap berada dalam arah dan tujuan pendidikan. Jiwa inilah yang membuat pesantren dimasa lalu bebas dari pengaruh kolonial dan mengisolir diri dari kehidupan Barat yang dibawa oleh penjajah.
Jiwa-jiwa yang meliputi suasana kehidupan di pesantren itu yang sengaja diciptakan untuk membentuk watak para santri dan menjadi bekal kehidupannya di dalam masyarakat luas (Al-Djami’ah, 1965 : 26-27).
Baru dalam abad ke-20 tipe pendidikan Indonesia ini harus bertarung dengan pengaruh pendidikan barat secara intensif: (a) dalam paruh pertama abad ini dengan bentuk pengajaran umum dari pemerintah kolonial; dan (b) sejak kemerdekaan Indonesia dengan tradisi "pendidikan Barat modern” yang dijadikan sistem pendidikan resmi di Indonesia yang berlaku sampai sekarang (Diemek, 1986 : 1).
Kecenderungan selama ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren besar dengan sekolah-sekolahnya menjadi semakin terintegrasi ke dalam sistem sekolah yang diatur pemerintah dan menyesuaikan diri dengan seleranya. Sementara itu, sisanya terpaksa menawarkan pendidikan agama yang bersifat pelengkap saja (Oepen, ed, 1988 : 264). Karena itu, dewasa ini sulit sekali ditemukan pesantren yang berada di luar sistem persekolahan.
Perubahan yang terjadi di dalam pesantren seperti tersebut di atas menunjukkan perkembangan ke arah penyesuaiannya dengan kebutuhan zaman. Perubahan itu, di satu sisi, membawa kebaikan dalam proses belajar-mengajar. Disisi lain, menghendaki pendefinisian kembali fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan seraya mengkaji kembali fungsi agama itu sendiri untuk hidup.



B. Paradigma Pendidikan Islam

Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life (lodge, 1947), dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangka kehidupan islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan ketrampilan hidup orang Islam.
Apa pandangan dan sikap hidup kita? Hal ini bisa dipahami dari makna hidup itu sendiri yang dalam bahasa arab dinamakan al-hayah. Makna al-hayah adalah al-harokah, dan alharakah adalah al-barkah (bergerak atu beraktivitas yang bisa mendatangkan berkah), al-ni’mah (kenikmatan atau kenyamanan hidup), dan al-sa’adah (kebahagyaan). Karena itu, pandangn hidup yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan ketrampilan hidup seseorang harus bisa mendatangkan berkah, yakni nilai tambah, kenikmatan dan kebahagyan dalam hidup.
Namun demikian, timbul pula pertanyaan: apa saja aspek-aspek kehidupan itu? Dalam konteks inilah para pemikir dan pengembang pendidikan Islam mempunyai visi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tidak bisa dipisahkan dalam sestim politik dan latar belakang sosio-kultural yang mengitarinya. Secara historis-sosiologis, setidak-tidaknya telah muncul paradigma pengembangan pendidikan sebagai berikut.

1. Paradigma Formisme
Di dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah di kotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanaan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada. Bulat dan tidak bulat, STAI/IAIN dan Non STAIN/IAIN, Madrasah dan Non Madrasah, pendidikan keagamaan dan nonkeagaman atau pendidikan Agama dan Pendidikan Umum, demikian seterusnya.
Pandangan yang dikotomis tersebut pada giliran selanjutnya dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani sehingga pendiidkan Islam hanya diletakan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja. Seksi yang mengurusi keagamaan disebut seksi kerohanian.
Dengan demikian, pendidikan kegamaan dihadapkan dengan pendidikan non keagamaan, pendidikan keislaman dengan pnon keislaman, pendidikan agama dengan pendidikan umum, demikian seterusnya, sehingga pendidikan Islam(al-tarbiyah al-Islamiyah) berarti al-tarbiyah al-diniyah/pendidikan keagamaan, ta’lim al-din/pengajaran agama, al-ta’lim al-din/pengajaran keagamaan atau al-taklim al-islami/pengajaran keislaman dalam rangka tarbiyah al-muslimin(mendidik orang-orang Islam).
Karena itu, pengembangan pendidikan islam hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrowi yang terpisah dalam kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Pendidikan (agama) Islam hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi garap pendidikan umum (nonagama). Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan. Istilah pendidikan agama dan pendidikan umum, atau ilmu agama atau ilmu umum sebenarnya muncul dari paradigma formisme tersebut.

2. Paradikma Mekanisme
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (Dekdikbud, 1988), secara etimologis, mechanism berarti: hal kerja mesin cara kerja suatu organisasi, atau hal saling bekerja seperti mesin, kalau satu bergerak, maka yang lain turut bergerak
Paradikma mechanism memandang kehidupan terdiri atas beberapa aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesinyang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan yang lainya bisa saling berkonsultasi atau tidak.
Aspek-aspek atau nilai keadilan itu sendiri, terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai social, nilai polotik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai aestetika, nilai biofisik, dan lain lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan lainya. Hubungan nilai agama dengan nilai lainya dapat bersifat horizontal-lateral (independent), interal-sekuensial. Atau bahkan bertikal linier (Muhaimin, 1995).
Dalam konteks pendidikan Islam (al-tarbiyah al-islamiyah ) berarti al-tarbiyah al-diniyah/pendidikan keagamaan, ta’lim al-din/pengajaran agama, al-ta’lim al-dini/pengajaran keagamaan. Atau al-ta’lim al-islamiah/ pemgajaran keislaman merupakan bagian (sub) dari sistem pendidikan yang ada, dalam rangka tarbiyah al-muslimin (mendidik orang-orang Islam).
Umat islam dididik denagn seperangkat ilmu pengetahuan atau mata pelajaran, salah satunya adalah mata peendidikan agama yang mempunyai fungsi tersendiri, yaitu sebagai: (1) pengembangan dan peningkatan keimanan dan ketakwaan (2) penyaluran bakat dan minat dalam mendalami agama. (3) perbaikan kesalahan, kekurangan kesalahan dalam keyakinan,pemahaman dan pengajaran dalam agama. (4) pencegahan hal-hal yang negative dalam lingkunganya atau budaya asing yang berbahaya. (5) sumber nilai atau pedoman hidup untuk mencapai kebahagyaan dunia akhirat, dan (6) pengajaran atau penyampaian pengetahuan keagama (Muhaimin, 1996). Jadi. Pendidikan agama lebih menonjolkan fugsi moral dan spiritual atau dimensi efektif daripada koknitif dan psikomotor, dalam arti dimensi kognitif dan psikomotor diarahkan untuk pembinaan afektif (moral dan Spiritual), yang berbeda dengan mata pelajaran lainya.
Paradigma tersebut nampak dikembangkan pada sekolah atau perguruan tinggi umum yang bukan berciri khas agama Islam. Didalamnya diberikan seperangkat mata pelajaran atau ilmu pengetahuan(mata kuliah), salah satunya adalah mata pelajaran atau mata kuliah pendidikan agama yang hanya diberikan 2 jam pelajaran perminggu atau 2 sks, dan didukung sebagai mata kuliah dasar umum, yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian yang religius.
Sebagai implikasinya, pengembangan pendidikan Islam dalam arti pendidikan agama tersebut bergantung pada kemauan-kemauan, dan political-will dari para pembinanya dan sekaligus pimpinan darilembaga tersebut, terutama dalam membangun hubungan kerjasama dengan mata pelajaraan (kuliah) lainya. Hubungan (relasi) antara pendidikan agama dengan beberapa mata pelajaraan atau mata kuliah lainya dapat bersifat horizontal lateral (independent), lateral sekuensial, atau bahkan vertical linier.
Relasi yang bersifat horizontal lateral (independent) mengandung arti bahwa beberapa mata pelajaran (mata kuliah) yang ada dan pendidikan agama memiliki hubungan yang sederajat yang independent, dan tidak harus saling berkonsultasi. Relasi yang bersifat lateral-sekuensial, berarti di masing-masing mata pelajaran (mata kuliah) tersebut mempunyai relasi sederajat yang saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertical-linier berarti mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber ilai atau sumber konsultasi, sementara seperangkat mata pelajaran (mata kuliah) yang lain adalah termasuk pengembangan nilai-nilai insani yang mempuyai relasi vertical-linier dengan agama.
Fenomena pengembangan ipendidikan Islam di sekolah atau perguruan tinggi unum nampaknya sangat berfariasai. Dalam arti ada yang cukup puas dengan pola horisotal-lateral (independent) ada yang mengembangkan pada relasi lateral-sekuensial, dan ada pula yang erobsesi untuk mengembangkan pola relasi virtikal-linier Semuanya itu lagi-lagi akan banya ditentukan kemauan, kemapuan, dan political-will dari para pendidikan agamaserta pimpinan dari lembaga pendidikan tersebut.
Kebijakan tentang pembinaan pendidikan agama Islam secara terpadu di sekolah umum misalnya, antara lain menghendaki agar pendidikan agama dan sekaligus para guru agamanya mampu memadukan antara mata pelajaran agama dengan mata pelajaran umum. Kebijakan ini akan sulit diplementasikan pada sekolah atau perguruan tinggi umum yang hanya cukup puas dengan pola relasi horizontal-lateral (indepemdent). Barangkali kebijakan tersebut relative mudah diplementasikan pada lembaga pendidikan yang mengembangkan pola lateral-sekuensial. Hanya saja implikasi dan kebijakan tersebut adalah para guru agama harus memahami ilmu umum dan menguasai ilmu agama, sebaliknya guru umum dituntut untuk memahami ilmu agama dan menguasai ilmu umum (bidang keahlianya). Bahkan guru agama dituntut untuk mampu mnyususn buku-buku teks keagamaan yang dapat menjelaskan hubungan antara keduanya.
Namun demikian, kadang dirasakan adanya kesulitan, terutama ketika dihadapkan pada dasar pemikiran yang berbeda, sehingga terjadi konflik antara keduanya. Contoh sederhana adalah menyangkut asal usul manusia. Sains yang diajarkan sekolah bertolak dari dasar pemikiran bahwa manusia berasal dari kera. Sementara pendidikan agama tidak demikian. Psikologi behaveoristik bertolak dari hasil penelitian terhadap sejumlah hewan untuk diterapkan kepada manusia, sementara pendidikan agama dari hasil pemahaman terhadap wahyu (kitap suci). Ilmu ekonomi bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang paling serakah (kapitalisme), sehingga bagaimana seorang yang memiliki modal sedikit, tetapi mampu menghasilkan keuntungan yang lebih besar, yang berbeda halnya dengan pendidikan agama, demikian seterusnya.
Suasana tersebut kadang-kadang menimbulkan ketegangan pada diri peserta didik, terutama jika kedua-duanya (baik pendidikan agama maupun pendidikn Umum) saling memaksakan kebenaran pandanganya . agama memang bertolak dari keimanan sedangkan ilmu pengetahuan bertolak dari keraguan. Dari sini peserta didik diuji pandanganya. Bila pandangan agama mendominasi pemiliranya, mungkin ada kecenderungan bersikap pasif dan statis, sedangkan bila ilmu pengetahuan mendominasi pemikiranya maka ada kecenderungan untuk bersikap split of personality. Jangan-jangn budaya NKK (Nepotisme, Koropsi, dan Kolusi) antara lain sebagai akibat dari pengembangn pendidikan Islam yang menggunakan paradikma mhecanism tersebut, terutama yang menerapkan pola relasi Horisontal-lateral (independent) dan lateral-sekuensial.

3. Paradikma Organisme
Istilah “oeganism” benda hidup (plamts, animals and bacteria are organisms), dan dapat berarti kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian yang rumit. Dalam pengertian kedua tersebut, paradika organism bertolak dari pandangan bagwa pendidikan islam adalah kesatuan atau sebuah sistim (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha mengembangkan pandangan/semangat hidup (weltanshauung) Islam, yang dimanivestasikan dalam sikap hidup dan ketrampilan hidup yang Islami.
Dalam konteks pandangan semacam itu, al-tarbiyah al-islamiyah (pendidikan Islam) berarti al-tarbiyah fi al-Islam (pendidikan dalam Islam) dan al-tarniyah ‘inda al muslimin (pendidikan di kalangan orang Islam). Pengertian ini menggaris bawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibagun dari fundamental doctririns dan fundamental values yang tertuang dan terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunna shahihah sebagai sumber pokok, kemudian mau menerima kontribusi pemikiran dari para ahli serta mempertimbangkan konteks historitasnya. Karena itu, nilai Ilahi/agama/wahyu didudukan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspak-aspek kehidupan lainya didudukan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai relasi horizontal-lateral atau lateral-sekuensial, tetapi harus berhubungan vertical-linier dengan nilai Ilahi/agama.
Melalui upaya semacam itu maka system pendidikan Islam diharap dapat mengitegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etika, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki kematangan professional, dan sekaligus hidup didalam nilai-nilai agama.
Modek paradigma tersebut nampaknya mulai dirintis dan dikembangkan dalam sistim pendidikan islam di Madrasah, yang dideklarasikan sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam. Kebijakan pengembangan madrasah berusaha mengakomodasikan tiga kepentingan utama, yaitu (1) sebagai wahana untuk membina ruh atau praktek hidup keislaman: dan (2) memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sederajat dengan system sekolah, sebagai wahana pembinaan warga negara yang cerdas, berpengaruh, berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif dan (3) mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan, dalamarti sanggup melahirkan manusia yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, industrialisasi maupun era informasi.
Bagaimana dengan IAIN? Nampaknya pengembangan pendidikan Islam di lembaga ini masih lebih dekat dengan paradigma formisme. Untuk dikembangkan kea rah paradigma organism, rupanya perlu dilakukan tranformasi IAIN menjadi Universitas Islam negeri. Tranformasi ini perlu segera direalisir karena betapa kita telah melihat bahaya yang dialama oleh dudnia barat yang memisahkan ilmu pengetahuan dengan ilmu agama (paradigma famisme), demikian pula produk pendidikan Islam yang meneraplan paradigma mechanism yang belum mampu menjadikan pendidika agama sebagai factor integratif dalam pengembangan keilmuan, bahkan masing-masing berbicara dengan bahasamya sendiri (relasi horizontal-lateral) dan diantara mereka tidak terjadi komunikasi dan interaksi yng produksi dan dinamis.
Menurut H.A.R. Tilar (1998), bahwa penelitian, pemiliran, dan gagasan-gagasan dari para ahli yang terpisah-pisah tersebut (horizontal-lateral/independent) dapat berbahaya dalam esistensi kehidupan manusia. Coba kita lihat apa bahaya dari biyo teknologi dengan adanya praktek cloning terhadap binatangyang dewasa ini juga dilaksanakan juga kepada manusia. Meskipun pemerintah Amerika Serikat misaknya telah melarang teknologi cloning terhadap manusia, tetapi hal ini telah merupakan indikasi perlunya kita berhati-hati di dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang terlepas dari nilai-nilai agama. Karena itu, kata beliau, Universitas Islam yang direncanakan harus merupakn suatu modal lembaga pendidikan tinggi masa depan karena lembaga tersebut akan mengitegrasikan ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etika yang pada akhirnya merupakan karakteristik dari masyarakat madani era global abad 21.
Dari berbagai urain diatas dapat ditegaskan bahwa upaya memotret paradigma pengembangan pendidikan Islam di Indonesia memang amat di perlukan untuk mempertajam pemahaman kita akan keunikan realitas pendidikan Islam yang sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia, kendatiun itu nukan pekerjaan yang sederhana dan bahkan akan menimbulkan kontroversi.
Kalu penulis memotretnya dengan menggunakan alat bantu delapan Istilah yang tercakup dalam pengertian al-tarbiyah al-islamiyah (pendidikan Islam) serta tiga paradigma (jendela pandang ) pengembangan pendidikan Islam sebagaimana uraian diatas, maka sebenarnya semua itu mereupakan ijtihad dari penulis sendiri, yang tidak menutup kemungkinan ada potret-potret lainyang menggunakan alat dan paradigma yang berbeda pula.jika penulian tersebut dianggap terlau menyederhanakan persoalan, alangkah baiknya para pembaca dapat menawarkan alternative lainya guna memperkaya wawasan serta visi kita terhadap model-model paradigma pengembangan pendidikan Islam di Indonesia.

C. Islam Dan Budaya Nasional
1. Mahapatih Gajah Mada dan Berdirinya Kerajaan Islam Demak.

Artinya : Tunjukilah kami Jalan yang Lurus” ; (Al-Fatihah : 6).
Kita membahas hekakat ayat ini dengan metode eklektik, dengan subyektivisme Indonesia, untuk mengambil hikmah pada perjalanan bangsa dewasa ini dan kedepan. Tafsir Jalalain berpendapat bahwa jalan yang lurus tak lain adalah agama Allah yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara Tafsir Ibnu Katsir lebih menekankan dengan Dinul Islam yang sahih, tanpa tambahan dan pengurangan, agama yang bersih dari bidâah dan khurafat.
a. Histori
Pada th. 732 di Jawa Tengah berdiri kerajaan Hindu Mataram Medang dibawah Dinasti Sanjaya. Dalam perkembangannya pusat kekuasaan bergeser ke Kediri, Jawa Timur. Kaisar Hindu yang terbesar dan terakhir adalah Sri Kertajaya. Selama 5 abad (732-1222) Jawa dan sekitarnya berada dibawah pengaruh kuat Hindu yang membentuk religi dan budaya.
Tetapi sesungguhnya masyarakat Jawa purba sudah memiliki kebudayaan asli, yaitu penyembahan arwah dan hantu atau paganisme, seperti yang dianut Raja Pasundan Purba Dewata Cengkar yang bertahta di sekitar Bogor abad ke-1. Agama purba Jawa ini memiliki kemiripan dengan Agama Wu abad ke-30 SM di Tiongkok yang diduga memang dianut kebanyakan umat manusia dizaman purbakala.
Dinasti Sanjaya berasal dari Hindustan (India) yang berhasil mendirikan kerajaan di Jawa. Maka terdapat kasta Hindu dan kasta pribumi. Oleh perjalanan waktu terjadi pembauran, tetapi tetap ada sekat dalam hierarki kasta itu.

Ken Arok pendiri kerajaan Singosari bergelar Sri Rajasa Bathara Sang Amurwabumi
Th. 1222 Ken Arok atau Sri Rajasa dari Tumpel menggempur Kediri, dan mengakhiri peradaban Hindu Mataram Medang. Dalam era kekuasaan Sri Rajasa, pengaruh Hindu mulai surut disusul masuknya Buddha yang dirasa lebih toleran dalam hal kasta. Mulai dari Ken Arok inilah berkembang kepercayaan Shiwa-Buddha, yaitu sinkretisme Hindu-Buddha. Ken Arok memindahkan pusat kekuasaan ke Singosari.
Pada akhir abad ke 13 Singosari dng kaisar terakhirnya Sri Kertanegara runtuh digempur oleh Prabu Jayakatwang dari Kediri. Tetapi peradaban Shiwa-Buddha terus berkembang. Raden Wijaya keturunan Ken Arok yang menjadi menantu Kertanegara setelah takluk kepada Jayakatwang diberi tanah perdikan Tarik yang kemudian berkembang menjadi Majapahit.

Kublai Khan (1215-1294) Panglima Armada Dinasti Mongol Yuan cucu Gengis Khan
Ketika Kraton Kediri hancur oleh Laksamana Mongol Kublai Khan dari Tiongkok, terjadi kekosongan kekuasaan. Raden Wijaya kemudian dinobatkan menjadi Raja Majapahit dengan gelar Prabu Kertarajasa Jayawardana (1294-1309) dengan tiga pengikutnya yang terkenal yang berasal dari rakyat jelata yaitu Nambi, Sora dan Ronggolawe.
Prabu Kertarajasa dan Permaisurinya Dyah Rajapatni beragama Buddhha. Dalam masa kekuasaannya agama Buddha mengalami kemajuan besar terutama dikalangan rakyat dan para pejabat yang bukan keturunan bangsawan, karena Buddha tidak begitu mempersoalkan kasta. Ketika Sri Kertarajasa wafat pada tahun 1309, ia digantikan puteranya dari garwa paminggir (bukan permaisuri) yang bergelar Prabu Jayanagara yang masih berusia 15 tahun.


Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.
Pada masa pemerintahan Jayanagara perselisihan agama menghebat. Mahapatih Kerajaan yang pemimpin Hindu memimpin para Dharmaputera (para pejabat bangsawan) untuk menyingkirkan para pejabat dari rakyat jelata yang dipimpin Nambi, Sora dan Ronggolawe yang Buddhis, yang berakhir dengan perang besar di Tuban dan Lumajang. Meskipun Nambi, Sora dan Ronggolawe berhasil ditumpas, tetapi Majapahit kehabisan energi, melemah.
Akibatnya banyak daerah yang melepaskan diri. Pada masa itu Majapahit dibagi menjadi tiga kraton yang dipimpin masing-masing putera Prabu Kertarajasa, yaitu :
1. Kraton Kahuripan dengan raja puteri Tribuana Tunggadewi,
2. Kraton Daha dengan raja puteri Wijayadewi, dan
3. Kraton Kediri dengan maharaja Prabu Jayanagara sbg kerajaan pusat.
Pada awal abad 14 terjadi pemberontakan para Dharmaputera dipimpin Kuti. Mahapatih Kediri justru dibunuh para Dharmaputera-nya sendiri. Ekses dari kemelut ini ialah tewasnya Prabu Jayanagara oleh tabib Tanca pengikut Kuti yang marah karena isyu Raja menzinahi istrinya. Pada masa kekalutan inilah muncul perwira bhayangkara Gajah Mada yang dengan kecerdasan dan siasatnya berhasil menyelamatkan negara dari kehancuran. Tidak jelas asal-usulnya , termasuk apakah Gajah Mada seorang Buddhis ? Yang pasti bukan Hindu. Ada yang menduga Gajah Mada seorang Muslim, mengingat pandangannya yang merakyat dan egaliter, yang menjadi ciri-ciri kelompok Muslim yang mulai tumbuh di masa itu, yang berbeda dengan pandangan kalangan Hindu dengan budaya kasta-nya.
Maharaja Puteri Tribuwana Tunggadewi menggantikan Jayanegara dan tetap bertahta di Kahuripan. Atas jasa-jasanya dan kemampuannya yang tinggi dalam menyelamatkan negara, Gajah Mada diwisuda menjadi Mahapatih Mangkubumi menggantikan Arya Tadah yang sengaja mengundurkan diri. Sebelum memangku jabatannya Mahapatih Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa : Selamanya tidak akan memakan sumpah palapaâ sebelum berhasil mempersatukan, memakmurkan dan meluhurkan Nusantara dalam kesatuan negara Majapahit.
Gajah Mada membuktikan sumpahnya mempersatukan kepulauan Nusantara, bahkan kekuasaan Majapahit meluas hingga Singapura, Malaysia, Kamboja, Filipina dan Thailand. Th. 1350 Kaisar Puteri Tribuana Tunggadewi digantikan oleh puteranya Prabu Rajasanagara atau Hayam Wuruk.
Saat itu adalah puncak kejayaan Majapahit dibawah kepemimpinan Mahapatih Gajah Mada yang disebut zaman kerta atau windu kencana. Pada th. 1364 Mahapatih Gajah Mada wafat, menggoncangkan bumi Majapahit. Tapi Prabu Rajasanagara bertindak tangkas dengan membentuk pemerintahan kolektif yang terdiri enam kementerian (kanayakan) untuk menggantikan fungsi Gajah Mada.

Relief : Rajasanagara Hayam Wuruk (1350-1389) diatas kereta gajah, Maharaja Majapahit yang terbesar dalam masa pemerintahan Mahapatih Gajah Mada. Dalam masa ini Sumpah Palapa dibuktikan.
Pada th.1389 Kaisar Hayam Wuruk wafat, digantikan menantunya Prabu Wikramawardana suami Dyah Kusumawardani, yang ditentang puteranya dari garwa paminggir Prabu Wirabumi yang bertahta di wilayah Timur. Tahun 1401 pecah Perang Paregregâ yang artinya perang saudara antara Majapahit melawan Wirabumi, berlangsung selama 6 tahun.Diakhiri dengan gugurnya Prabu Wirabumi th.1407. Prabu Wikramwardana wafat pada th. 1429. Dewi Suhita puterinya dari garwa paminggir naik tahta dan wafat pada tahun 1447. Digantikan adiknya Kertawijaya yang bergelar Brawijaya I (1447-1451). Lalu berturut-turut memerintah Majapahit, Rajasawardana Brawijaya II (1451-1453), Purnawisesa Brawijaya III (1456-1466), Pandansalas Brawijaya IV (1466-1468), dan Kertabumi Brawijaya V (1468-1478), disebut Brawijaya Pamungkas (keturunan Raden Wijaya yang terakhir).
Pemberontak dari Keling Kediri keturunan Jayakatwang yang berhasil mengalahkan Majapahit Girindrawardana memakai pula gelar Brawijaya VI (1478-1498). Penggantinya Prabu Uddhara yg membunuh Girindrawardana, memakai pula gelar Brawijaya VII (1478-1518). Sesungguhnya semenjak Perang Paregreg kedudukan Majapahit semakin melemah. Banyak negara-negara seberang lautan yang melepaskan diri. Th. 1513 Sultan Fatah atau Raden Fatah dari Bintoro Demak menyerbu Majapahit. Setelah berperang selama 5 tahun, pada th. 1518 Raden Fatah berhasil menaklukkan Majapahit dibawah raja pemberontak Prabu Uddhara Barawijaya VII. Majapahit kembali kepada trah-nya dan dipersatukan dibawah kepemimpinan Islam yang terus berpengaruh hingga perubahan Indonesia modern awal abad 20. Itulah jalan yang sudah ditempuh nenek moyang kita.
b. Psikologi
Carl Gustav Jung (1875-1959) seorang pakar psikoanalitik berpendapat, bahwa evolusi manusia memberikan cetak biru bukan hanya pada fisik atau disposisi fisiologis, melainkan pada jiwa atau disposisi psikologis. Menurut Jung basis kepribadian manusia dibentuk oleh ketidaksadaran kolektif, yang berisi gudang ingatan laten yang diwariskan oleh leluhur berisi pengalaman-pengalaman umum yang terus-menerus dari generasi ke-generasi. Bukan berupa memori atau fikiran spesifik, melainkan merupakan predisposisi (kecenderungan bertindak) atau potensi pemikiran.
Predisposisi ini menyangkut pengalaman menghadapi bahaya, reproduksi, menyayangi anak dan kepercayaan kepada Tuhan. Menurut Jung ketidaksadaran kolektif (transpersonal unconscious) merupakan perut dan dasar gunung es yang maha luas, sedangkan kesadaran hanyalah puncaknya yang kecil saja. Meskipun proses belajar memiliki pengaruh kuat, tetapi ketidaksadaran kolektif merupakan faktor dominan pembentuk basic personality structure (struktur kepribadian dasar).
Bahkan unsur-unsur endogen yang berbasis pada keturunan berada dalam lingkup ini. Maka dapat ditelusuri bahwa proses mental dan perilaku manusia Indonesia dewasa ini memiliki akar pada proses sejarah yang merupakan isi transpersonal unsconscious tersebut dengan semua predisposisi-nya.
Dengan melihat fakta ini, maka dapat dimengerti unsur-unsur budaya takhayul paganisme, sinkretisme Shiwa-Buddha disamping budaya Tauhid yang berkembang dizaman Bintoro Demak dengan Walisongo-nya, bercampur dalam religi Muslim Indonesia. Hal itu menjadi kekayaan batin, sekaligus kekurangan.
Firman Allah :,



. Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut[826] itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya[826]. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Q: An-Nahl:36).

Dengan demikian jelas bagi Kaum Muslimin, tidak dapat mewarisi religi Mataram Medang, Singosari dan Majapahit. Namun dapat memetik hikmah sejarah dan budaya bangsa tersebut sebagai pengetahuan, karena didalamnya terdapat nilai-nilai reformasi, moralitas, perjuangan, pengabdian dan kepahlawanan seperti yang ditunjukkan Mahapatih Gajah Mada.
Selebihnya kebangkitan Bintoro Demak dengan Sultan Fatah dan para Wali dengan kekuatan Tauhid “Suro Diro Joyoningrat lebur dining Pangastuti”, yang berhasil menyelamatkan negara Nusantara Majapahit, hendaknya menjadi disposisi psikologis Muslim Indonesia. Panjangnya era Hindu dan Shiwa-Buddha betapapun memberikan pula warisan budaya spiritual, seperti tampak dalam sinkretisme Islam dengan budaya pra-Islam.
Hal ini-lah yang menjadikan Tauhid Kaum Muslimin Indonesia, kurang jernih, sehingga tidak berhasil membangkitkan energi sebagaimana yang pernah dibangkitkan oleh para pemimpin Bintoro Demak diawal abad 16 yang melahirkan semangat nasionalistis relegius. Inilah makna “Ihdienasshirotol-Mustaqiem” dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sekian. (KH. Agus Miftach, 17 September 2004)

D. Sistem Pendidikan di Indonesia
Secara konseptual, sistem pendidikan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003). Dalam undang-undang yang terdiri dari 20 bab dan 59 pasal ini berbagai aspek yang terdiri dari 20 bab telah diatur secara seksama. Dalam undang-undang ini telah diatur mengenai dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan, hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, satuan, jalur dan jenis pendikan, jenjang pendidikan, peserta didik, tenaga kependidikan, sumber daya pendidikan, kurikulum, hari belajar dan hari libur sekolah, bahasa pengantar, peran serta masyarakat, badan pertimbangan pendidikan, pengelolaan, pengawasan, ketentuan lain-lain, ketentuan pidana, dan ketentuan peralihan ( UU RI No. 2 0 Th. 2003)
Jika substansi yang terdapat dalam batang tubuh undang-undang tersebut ditelaah secara saksama, tampak bahwa secara keseluruhan cukup ideal. Namun yang ideal ini tampak dalam realitas. Hal ini dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
1), dilihat dari segi dasarnya, pendidikan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dasar ini mengandung nilai-nilai yang tak diragukan lagi amat ideal dan luhur. Namun nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sekarang ini tidak lagi efektif, bahkan masyarakat sudah enggan untuk menyebutkannya. Hal ini antara lain disebabkan trauma masa lalu, dimana Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ditempatkan sebagai doktrin politik yang boleh ditafsirkan menurut versi dan kemauan penguasa. Hak bicara masyarakat tersumbat, dan nyaris tidak memiliki kebebasan, sampai kemudian datang gelombang reformasi yang memberikan kebebasan hampir tanpa batas kepada masyarakat untuk berbicara apa saja. Masyarakat ternyata semakin tidak beradab, yang terlihat dalam berbagai fenomena perilaku menyimpang dan tidak manusiawi, seperti penjarahan, pembakaran, penganiayaan, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Masyarakat kini tengah mencari dasar pendidikan alternatif yang dapat diterima dan terasa pengaruhnya secara efektif. Dasar tersebut antara lain melalui penerapan konsep masyarakat madani. Konsep masyarakat madani sudah masuk ke dalam salah satu butir konsideren dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Konsideran tersebut antara lain berbunyi bahwa peningkatan daya saing nasional membutuhkan Perguruan Tinggi Negeri sebagai kekuatan moral dalam pembangunan masyarakat madani yang lebih demokratis, dan mampu bersaing secara global (PP RI No. 61 Th. 1999, 1999 : 2). Pemantapan konsep masyarakat madani dalam pendidikan ini diperkuat pula melalui Mata Kuliah Pendidikan Kewargaan (Civic Education). Berhasilkah konsep masyarakat madani ini diterapkan sebagai dasar pendidikan Islam? Tampak belum terjawab.
2). dilihat dari segi fungsinya pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Fungsi pendidikan yang demikian itu juga masih belum terlihat hasilnya secara aktual. Keadaan menunjukkan bahwa mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia di mana dunia internasional amat terpuruk. Daya saing kualitas sumber daya manusia Indonesia masih berada di bawah kualitas sumber daya manusia di negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Demikian pula citra bangsa Indonesia di mata dunia Internasional tampil dalam sosoknya sebagai bangsa yang kurang beradab. Kita dianggap sebagai bangsa yang kejam, sadis, bengis, dan menakutkan.
3), dilihat dari segi tujuannya, pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Tujuan pendidikan nasional tersebut tampak ideal, dan jika bisa diwujudkan, maka akan dihasilkan manusia yang utuh, sempurna, terbina seluruh potensi jasmani, intelektual, emosioanal, sosial dan sebagainya, sehingga ia dapat diserahkan tanggung jawab untuk mengemban tugas baik yang berkenaan dengan kepentingan pribadinya maupun masyarakat dan bangsanya.
Namun demikian, dalam kenyataan masih terdapat kesenjangan antara tujuan pendidikan yang diharapkan dengan realitas lulusan pendidikan. Lulusan pendidikan saat ini cenderung bersikap sekuler, materialistis, rasionalistik, hedonistik, yaitu manusia yang cerdas intelektualnya dan terampil fisiknya, namun kurang terbina mental spiritualnya, dan kurang memiliki kecerdasan emosional (Goleman, 2000 : 9). Akibat dari keadaan yang demikian itu, kini banyak sekali para pelajar yang terlihat dalam tawuran, tindakan kriminal, pencurian, penyalahgunaan obat-obat terlarang, pemerkosaan, dan lain sebagainya.
4). dilihat dari kesempatan yang diberikan, dalam Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Namun, dalam kenyataan masih banyak warga negara Indonesia yang belum mengenyam pendidikan sebagai akibat dari ketidakmampuan dalam bidang ekonomi. Pendidikan saat ini, khususnya pendidikan yang bermutu hanya dapat dinikmati dan dimonopoli oleh segelintir orang yang mampu saja. Sedangkan masyarakat pada umumnya hanya mendapatkan pendidikan yang kurang menjanjikan masa depannya. Inilah salah satu persoalan yang digugat oleh Paulo Freire, tokoh pendidikan pembebasan asal Brazilia. Untuk itu mengatasi masalah ini maka perlu diperbanyak lembaga-lembaga pendidikan yang dapat menyediakan pendidikan yang bermutu dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus berasal dari masyarakat dan untuk masyarakat, seperti halnya pesantren. Kini sudah saatnya masyarakat memberikan perhatian yang lebih besar dalam memberdayakan pesantren sebagai pendidik alternatif yang berkualitas untuk kepentingan masyarakat.
5). dilihat dari segi penyelenggaraannya, pendidikan dilaksanakan melalui 2 (dua jalur) yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan. Sedangkan jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan. Keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan. Namun dalam praktiknya perhatian pemerintah selama ini hanya diberikan terhadap jalur pendidikan sekolah. Sedangkan jalur pendidikan luar sekolah tidak diperhatikan, sehingga kurang berperan sebagaimana diharapkan. Hal ini semakin diperparah lagi oleh adanya pengaruh global yang menerpa kehidupan keluarga yang selanjutnya berubah orientasi dan pola hidup. Yaitu pola hidup yang lebih mengutamakan material, tanpa diimbangi dengan dimensi spiritual. Akhirnya rumah tangga benteng pertahanan moral dan akhlak keluarga ikut terbawa hanyut arus global tersebut.
6). dilihat dari segi tenaga pendidikan, Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa tenaga kependidikan meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, pemilik, pengawas, peneliti dan pengembangan di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar. Tenaga pengajar merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar, yang pada jenjang pendidikan dasar menengah disebut guru dan pada jenjang tinggi disebut dosen.
Secara kuantitatif dan kualitatif tenaga-tenaga kependidikan tersebut di atas, tampak belum memadai untuk keperluan berbagai lembaga pendidikan yang ada. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan pemerintahan untuk mengadakan tenaga-tenaga kependidikan tersebut. Keadaan tersebut diperparah lagi dengan ditutupnya tenaga-tenaga pendidikan yang secara khusus menyelenggarakan pendidikan keguruan untuk tingkat dasar, menengah, dan tinggi. Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Pendidikan Guru Agama (PGA), Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), dan semacamnya kini tidak ada lagi. Akibatnya tugas mendidik dilakukan oleh tenaga pendidikan yang tidak professional (Buchari, 1994 : 33-34).
Sebagai tenaga profesional, seorng pendidik akan dapat menggali, membina,mengarahkan dan mengembangkan bakat dan potensi anak didik, sehingga dapat bermanfaat bagi dirinya dan masyarakatnya. Ia tidakakan memamerkan pengetahuannya, melainkan bagaimana mewujudkan anak yang pandai. Ia tidak akan mengisi anak dengan berbagai kemauannya yang belum tentu sesuai dengan keinginan anak, melainkan akan menyalahkan potensi yang ada dalam dirinya. Dalam perkembangan selanjutnya seorang guru profesional akan dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan mengasyikkan. Anak didik akan sanggup berlama-lama dalam kelas tanpa merasa bosan untuk mengikuti pelajaran dengan baik. Proses belajar mengajar di tangan guru profesional tak ubahnya seperti sebuah orkestra yang melibatkan seluruh pemain secara aktif untuk melahirkan sebuah simfoni. Sistem pengajaran yang demikian itu, saat ini dikenal dengan istilah Quantum Teaching (dePorter, 2000 : 4).
7). dilihat dari segi kurikulum, Sistem Pendidikan Nasional mengatakan bahwa kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memerhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. Kenyataan menunjukkan masih terdapat sejumlah pengetahuan yang diberikan di perguruan tinggi yang tak ada lagi relevansinya dengan kebutuhan masyarakat, sehingga lembaga pendidikan ikut andil dalam memperbanyak jumlah pengangguran intelektual. Selain itu, masalah dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum masih mewarnai kurikulum pendidikan pada umumnya. Untuk mengatasi masalah ini perlu segera dilakukan integrasi antara ilmu agama dengan ilmu umum, islamisasi, atau spiritualisasi ilmu pengetahuan umum (Hasbullah, 2000 : 33).
























BAB III
PENUTUP


Kesimpulan :
 Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berakar panjang pada budaya bangsa Indonesia.
 Secara historis-sosiologis, paradigma pengembangan pendidikan islam ada 3 :
 Paradigma Formisme
 Paradigma Mekanisme
 Paradigma Organisme
 Ternyata terdapat hubungan antara islam dengan kebudayaan nasional.
 Sistem pendidikan di Indonesia tampak bahwa secara keseluruhan cukup ideal. Namun, belum terealisasi secara maksimal.




























DAFTAR PUSTAKA

Al-Djamilah, No. 5-6, Tahun VI, Jogyakarta: IAIN Sunan Kali Jaga, September-Oktober 1965.

Azyumardi Azra, 1999, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta : Logos.

Buchari, Mochtar, Pendidikan dalam Pembangunan, (Jakarta: IKIP Muhamadiyah Jakarta Press,1994), Cet. 1.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, Kamus Besar ahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

dePorter, bobbi, dkk, Quantum Theaching Mempraktikan Quantum Learing di Ruang-ruang kelas, (Bandung, Kaifa, 2000)’ Cet. 2.

Diemek Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terjemahan Butche B. Soendjojo dari Pesantren Islamische Bildung in Sosialen Wandel, Jakarta : P3M, 1986.

Feire, Paolo, Sekolah Kapitalis yang Licik, (Yogyakarta: LKiS, 1998), Cet.1.

Goleman, Daniel, Working with Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2000), Cet. 3.

Hasbullah, Moeflich, Gagasan dan perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Wacana Dekonstruksi Modernitas Dan Rekonstruksi Alternatif Sains Islam dalam millennium Ketiga, (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), Cet. 1.

KH. Miftach Agus. http://persatuan.web.id/?p= 34 ( Jakarta,17September2004) page 1-10


Muhaimin, Tadjab, Abdul Mujib, 1995, Dimensi–Dimensi Studi Islam. Surabaya : Karya Abitama.

Oepen, Manfred dan Wolfgong Kharcer (ed.), Dinamika Pesantren: Dampak Pesantren dalam Pendidikan dan Pengenbangan Masyarakat, terjemahan Sonhaji Saleh dari The Impact. of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia, Jakarta: P3M, 1988.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Huukum, (Jakarta:1991).

Rahardjo, M. Dawam (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari Bawah, Jakarta : P3M, 1985.

Sartono Kartodiharjo, 1981, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi. Jakarta : Gramedia.

Undang-Undang Tentang Pendidikan Nasional (UU RI No. 20 Th. 2003) dan Peraturan Pelaksanaanya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), Cet. 3.


































http://persatuan.web.id/?p=34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar